Showing posts with label Saraf. Show all posts
Showing posts with label Saraf. Show all posts

Definisi Alat Ukur dan Jenis Merokok

Definisi Alat Ukur dan Jenis Merokok - Dipekirakan tahun 1998 terdapat 1,2 biliun perokok diantara 6 biliun penduduk dunia, dengan prevalensi 48% pria dan 12 % wanita (WHO, 2003). Dari data presentase rata-rata di Indonesia terdapat lebih kurang 5% wanita dan 59% pria mempunyai kebiasaan merokok (Dep. Kes. R.I., 2000). Saat ini Indonesia merupakan negara keempat di dunia dengan jumlah perokok terbanyak, setelah Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Konsumsi rokok di negeri ini naik 44 persen selama kurun waktu tujuh tahun, yaitu selama tahun 1990 hingga 1997 (Walujani, 2002).

Di dalam rokok dan asapnya terdapat nikotin, tar dan banyak lagi zat-zat maupun senyawa kimia serta berbagai radikal bebas yang berjumlah sekitar 4000 macam (The California report July 2002) yang dapat menimbulkan kerusakan sel dan mendasari berbagai keadaan patologis seperti kanker, penyakit respiratorik, penyakit hati, rematik arthritis dan penyakit kardiovaskuler (Wijaya, 1997). Selanjutnya Depkes RI 1986-1992 mencatat angka kematian oleh penyakit jantung meningkat 9,7% (sebagai penyebab kematian nomor 3) menjadi 16% (sebagai penyebab kematian nomor 1), dan merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit jantung tersebut (Sani, 1994). Kebiasaan merokok tampaknya berhubungan dengan peningkatan sosioekonomi, kebiasaan merokok akan meningkat sejalan dengan peningkatan taraf hidup, sementara kebiasaan ini akan menurun sejalan dengan peningkatan pendidikan dan usaha larangan (Winkleby et al., 1990).

Definisi Alat Ukur Merokok
WHO, pada bulan Februari 2000 mendefinisikan bahwa merokok aktif adalah aktifitas meghisap rokok secara rutin minimal satu batang sehari. Menurut Davidson et al (1998) definisi perokok adalah yang telah merokok 1 batang atau lebih tiap hari sekurang-kurangnya selama 1 tahun, jika selama 1 bulan meninggalkan rokok (tidak merokok) disebut sebagai riwayat perokok. Jika selama 5 tahun berhenti merokok maka disebut sebagai mantan perokok (Leffondre et al. 2002).

Berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap, Samet et al (1988) membuat definisi perokok ringan sampai sedang adalah bila rokok yang dihisap <20 data-blogger-escaped-batang="" data-blogger-escaped-berat="" data-blogger-escaped-jika="" data-blogger-escaped-perhari="" data-blogger-escaped-perokok="" data-blogger-escaped-rokok="">20 batang rokok perhari. Secara kwantitatif merokok dibedakan menjadi (1) Perokok aktif ringan : bila merokok sigaret 1-10 batang perhari, (2) Perokok aktif sedang : bila merokok sigaret 11-20 batang perhari dan (3) Perokok aktif berat : bila merokok sigaret 20 batang atau lebih perhari.

Secara lebih terperinci secara kwalitatif derajat berat ringan merokok dinilai dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Penggolongannya berdasarkan Indeks Brinkman tersebut dibagi menjadi (1) Ringan : 1 – 50, (2) Sedang : 51 – 100 dan (3) Berat : > 100.(Debora, 2005)

Dikenal pula pengukuran derajat berat- ringan merokok yang lain, yaitu dalam pack year. Pack year adalah suatu cara pengukuran seseorang telah merokok dalam jumlah dan lama tertentu, yaitu dengan mengalikan jumlah bungkus rokok (pack) yang dihisap perhari dengan lama merokok dalam tahun (year). Sebagai contoh 1 pack year berarti seseorang telah merokok 1 bungkus perhari selama 1 tahun, atau 2 bungkus perhari selama setengah tahun, atau setengah bungkus perhari selama 2 tahun. Merokok digolongkan dalam kategori ringan jika kurang dari 10 pack year dan berat jika lebih dari itu (Debora, 2005).

WHO (2000) menetapkan pengukuran faktor risiko merokok terhadap berbagai macam penyakit dalam WHO December 2000 “ Non Communicable Diseases and Mental Health “ the stepwise approach to risk factor survaillance. Di setiap negara, ditetapkan minimal menggunakan acuan standard (step 2). Khusus untuk negara maju, diharapkan menggunakan acuan yang optimal (step 3).

Pengukuran yang dilakukan tiap level menurut WHO adalah seperti diuraikan pada tabel berikut ini.

Tabel Standard WHO - Pengukuran merokok sebagai faktor risiko penyakit

Tabel Standard WHO - Pengukuran merokok sebagai faktor risiko penyakit

Jenis Rokok
Bahan baku rokok adalah daun tembakau yang dirajang dan dikeringkan. Ada juga daun tembakau yang dikeringkan saja tanpa dirajang, biasanya digunakan sebagai rokok cerutu. Setelah dirajang dan dikeringkan, tembakau dibungkus dengan kertas rokok. Inilah yang disebut dengan rokoh putih. Bila kedalam rokok putih tersebut ditambah cengkeh atau bahan lainnya, maka disebut rokok kretek. Apabila tembakau dirajang, dikeringkan lalu dibungkus dengan daun jagung kering, itu disebut rokok kelobot. Rokok tersebut yang ditambah kemenyan dan daun kelembak disebut rokok kelembak (Yuningtyaswari, dkk. 2001). Saat ini sudah banyak produsen rokok yang memproduksi rokok rendah tar dan nikotin. Ada pula pabrik rokok yang berusaha mengurangi efek rokok terhadap kesehatan tubuh dengan menggunakan filter guna mengurangi jumlah partikel debu dari asap rokok. Filter dapat digunakan pada rokok putih, rokok kretek maupun rokok pipa, sehingga dapat mengurangi angka terjadinya beberapa penyakit akibat merokok bagi si perokok (Murbawani, 2002).

Kandungan gas CO yang dilepaskan diudara pada jenis rokok pipa 2 kali lebih besar, bahkan pada jenis rokok cerutu 5 kali lebih besar dari pada rokok putih. Hal ini tentu berdampak buruk pada lingkungan (Wildan, 2002).

Referensi:
  1. Davidson, A.G., Taylor, A.J.N., Darbyshire, J., Cheetle, D.R., Gutrie,C.J.G., O’ Malley, D. 1988. Cadmium Fume Inhalation and Emphysema in Lancet :663-667.
  2. Debora Orrick. 2005. How can I tell if smoking has damaged my health ? iVillage.
  3. Leffondre, K., Abrahamowicz, M., Siemiatycki, J., Rachet, B. 2002. Modelling Smoking History: A Comparison of Different Approach. American Journal of Epidemiology.
  4. Samet, J.M., Wiggins, C.L., Humble, C.G., Pathak, D.R.,1988. Ciggarette Smoking and Lung Cancer in New Mexico, Am.Rev.Dis 137: 1110-1113.
  5. WHO, 2000. Second Meeting of the working group A/FCTC/WG2/3 on the WHO frame work convention on Tobacco control : Provisional texts of proposed draft elements for a WHO framework convention on tobacco control.
  6. WHO, 2000. Guidelines for controlling and monitoring the Tobacco epidemic.
  7. Wijaya, A. 1997. Rekomendasi baru dari adult treatment panel (ATP II, 1993 NCEP/NIH) untuk diagnosis & pengobatan Hipokolesterolemia. Dalam: Beberapa pemeriksaan laboratorium untuk penyakit kardiovaskuler. Laboratorium Klinik Prodia.
  8. Wildan Asfan. 2002. Lingkungan Kerja Tanpa Rokok ( Dalam Rangka Hari Tembakau Sedunia). Kompas.

Efek Rokok Terhadap Sistim Saraf

Efek Rokok Terhadap Sistim Saraf - Diantara zat kimia dalam rokok yang penting dan telah banyak diketahui berkaitan dengan penyakit adalah tar, benzene, karbon monoksida, nikotin (Tambunan dkk., 1987). Disamping tar yang telah diketahui sejak tahun 1950 sebagai penyebab kanker paru, dua komponen utama yang terkandung dalam rokok adalah karbon monoksida dan nikotin yang berperan pada penyakit kardio dan serebrovaskular (Benowitz, 1996 dan Rasyid, 1984).

Merokok dapat diidentikkan dengan pemberian nikotin. Penelitian klinis oleh Wilson et al, (1995) dan White et al, (1999), menunjukkan pemberian nikotin pada kasus demensia hasilnya menggembirakan. Penelitian histopatologi mendukung penelitian tersebut, didapatkan tingginya afinitas ikatan nikotin di daerah thalamus dan basal ganglia, diikuti hippocampus, frontal temporal dan korteks parietal, dan rendah di globus pallidus dan cerebellum, ini adalah tempat-tempat proses kognisi dan memori (Benwell et al., 1998). Penelitian lain membandingkan antara jumlah masukan nikotin dengan jumlah reseptor nikotinik di hipokampus dan thalamus berbeda antara mantan dan perokok tetap, pada mantan perokok level reseptor nikotin pada regio ini menurun dibanding perokok tetap (Breese et al., 1997). Ini mengindikasikan bahwa dengan berhenti merokok menginduksi reseptor nikotinik secara reversibel setelah berhenti. Pada uji klinis terhadap binatang dan manusia, dengan penghambatan reseptor nikotinik di otak, oleh nikotinik antagonis seperti mecamylamine mengakibatkan terjadi gangguan memori dan penampilan aspek kognitif (Decker & Brioni, 1988; Grundman, 2000).

Efek nikotin menginduksi eksitasi noradrenalin neuron dan meningkatkan pelepasan katekolamin yakni sejenis hormon yang bekerja memacu sistim aliran darah (Hajos dan Engberg, 1988) dan noradrenalin diperkirakan berkontribusi untuk meningkatkan kognisi dan memori (Mitchel et al., 1992). Semakin tinggi kadar nikotin di dalam darah, maka akan semakin hebat pula rangsangannya terhadap postsinaptik di reseptor nikotinik (Picciotto et al., 1998), dengan kata lain merokok akan menghambat proses gangguan kognisi dan memori. Atas dasar inilah beberapa penelitian dilakukan untuk lebih mempertajam pengetahuan tentang pengaruh nikotin terhadap susunan saraf sentral.

Nikotin dikenal dengan nama kimia Beta Pyridil Alfa N methyl pyrolidine merupakan senyawa kimia amine tersier yang tersusun atas cincin pyridine dan pyrolidine. Zat ini pertama kali diperkenalkan oleh Nicot de Villeman pada tahun 1530 dari ekstraksi tumbuhan Nocotiana Tobacco dari genus Solanaceus sejenis tanaman asli di hutan tropis Amerika (Benowitz, 1996).

Mengisap sebatang rokok putih berarti mengkonsumsi 2-3 miligram nikotin. Apabila asapnya tidak dihisap, maka nikotin yang terhisap adalah 1-2 mg. Bagi seseorang yang tidak biasa merokok, kadar 1-2 mg dari nikotin tersebut sudah sangat menimbulkan gangguan berupa pusing dan sakit kepala, mual, muntah, bahkan merasa sakit pada daerah lambung. Dosis nikotin berefek 0,75-1,5 mg pada terminal striatal nikotinik dan dopaminergik, untuk dosis 0,75- 1,5 mg/hari berefek stimulus, sedangkan dosis 3-30 mg/hari berefek merusak yaitu terjadi degenerasi sel neuron. Kandungan nikotin dalam satu batang rokok 0,3-1,3 mg. Pengaruh lainnya dari zat nikotin tersebut adalah menaikan tekanan darah serta mempercepat denyut jantung yang berakibatkan semakin beratnya beban kerja jantung. Nikotin dalam asap rokok juga merupakan penyebab ketagihan merokok (Wildan, 2002).

Nikotin merupakan agonis dari reseptor nikotinik pada ganglion autonom dan neuromuscular junction, namun demikian efek ini tergantung dosis dan cara pemberiannya (Robertson et al., 1988). Efek hormonal dari nikotin berupa peningkatan sekresi vasopresin, hormon adrenokortikotropik dan gastrin dalam darah. Hal ini disebabkan karena nikotin berefek simpatomimetik (Joseph et al., 1995). Nikotin menyebabkan sedasi system saraf pusat. Pada awalnya, dalam jumlah sedikit nikotin mengurangi anxietas. Nikotin diabsorpsi dari asap tembakau di paru. Melalui pemakaian yang rutin, kadar nikotin terakumulasi di tubuh sehingga perokok akan terkena efek nikotin selama 24 jam setiap hari. Nikotin berefek pada suasana hati seperti halnya pada jantung, paru, lambung, neurotransmiter, dan system saraf simpatik. Efek jangka pendek merokok mengakibatkan berkeringat, mual mutah, iritasi tenggorok . selanjutnya keadaan lebih serius bisa timbul yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah serta kanker paru.

Mekanisme nikotin dalam mempengaruhi neurotransmitter di susunan saraf pusat adalah melalui ikatan dengan reseptor cholinergic yang selanjutnya memicu pelepasan dopamine. Pelepasan Dopamin ini berpengaruh pada suasana hati dan nafsu makan. Pada susunan saraf tepi nikotin berpengaruh pada pelepasan catecholamines, adrenaline dan noradrenaline. Pelepasan catecholamine mempunyai efek penting pada fungsi jantung, kekakuan pembuluh darah dan metabolisme lemak (Carr et al., 2000).

Nikotin dalam rokok akan beraksi di otak 10 detik setelah menghisap rokok. Nikotin berikatan dengan reseptor nikotinik yang akan memfasilitasi pelepasan neurotransmitter noradrenergik di locus ceroleus, proses itu penting dalam fungsi kognitif, memori, kewaspadaan dan menurunkan nafsu makan (Svensson et al., 2000). Menurut Decker & Brioni (1997) : (1) keterlibatan neurotransmiter kolinergik pada fungsi kognitif telah terbukti pada percobaan hewan dan manusia, (2) pada demensia maupun penyakit Alzheimer, stimulasi nAChR menghasilkan neurotransmitter dalam jumlah yang lebih rendah, termasuk asetilkolin sendiri, (3) mekanisme nikotinik berpartisipasi dalam kontrol neurogenik terhadap aliran darah otak yang melemah pada demensia maupun penyakit Alzheimer, (4) kemungkinan adanya kemampuan neuroprotektif bahan nikotinik didukung dengan data in vitro dan in vivo serta pengamatan klinis, bahwa pemakaian jangka panjang (merokok) berkorelasi negatif dengan resiko demensia maupun penyakit Alzheimer, (5) berbagai sub-tipe nAChR telah ditemukan di otak, ganglia, sambungan neuromuskular, hingga memungkinkan pengembangan obat yang lebih selektif dan aman dibanding dengan nikotinik sendiri.

Merokok secara signifikan juga sebagai sumber karbon monoksida (CO) (Varon, 1997). Dengan terisapnya CO ketika merokok, maka akan terjadi absorbsi di saluran nafas ke dalam pembuluh darah. CO akan berikatan dengan hemoglobin (Hb), ikatan yang dibentuk mempunyai kekuatan 200-230 kali daripada oksigen, dengan demikian lebih cepat menimbulkan konsentrasi toksik dalam pembuluh darah (Rodkey et al., 1974). Kajian Shochat dan Luchesi, (2001) batas CO mencapai 100 ppm menghasilkan HbCO 16% yang cukup menimbulkan gejala klinis, kemungkinan efek yang ditimbulkan bisa berupa :
  • Penurunan kapasitas untuk membawa oksigen oleh darah.
  • Terjadi perbahan disosiasi karakteristik oksihemoglobin, yang akhirnya terjadi penurunan penyampaian oksigen ke jaringan, terutama otak dan jantung.
  • Penurunan respirasi tingkat seluler oleh karena terganggunya sitokrom a3.
Setelah terjadi hipoksia jaringan otak, selanjutnya menimbulkan efek cedera pada otak oleh karena gangguan perfusi, hal ini memacu radikal bebas dan unsur-unsur peradangan, selanjutnya terjadi kematian jaringan otak (Okeda et al., 1989). Bersamaan dengan itu, CO juga menimbulkan lipid peroksidasi yang mempercepat kerusakan jaringan otak (Thom, 1990).

Jalur Skema Efek Rokok di Otak
Jalur Skema Efek Rokok di Otak


Hipotesa mechanism of action dari nikotin juga melibatkan pelepasan dari neurotransmitter (norepinefrin, dopamin, serotonin, GABA, glutamat) melalui stimulasi dari presinap reseptor nkotinik (Norberg, 1999).

Nikotin berefek pervasif pada kimia neuron otak. Mengaktivasi nicotinic acethylcoline receptors (nAchRs) yang tersebar di otak dan menginduksi pelepasan dopamin di nukleus accumben. Efek ini identik dengan penyalahgunaan narkoba dan dianggap sebagai mekanisme penyebab adiksi di otak, terlihat seperti gambar di bawah.

Jalur adiksi nikotin di otak
Jalur adiksi nikotin di otak

Jarvis (2004) mengutarakan nikotin merupakan stimulan psikomotor, pada pengkonsumsi jangka pendek akan mempercepat reaksi dan meningkatkan performa pada pekerjaan yang membutuhkan perhatian, tetapi pada konsumsi jangka panjang akan mengakibatkan penurunan performa dan proses kognitif serta mood yang tidak disadari oleh perokok tersebut.

Referensi :
  1. Benowitz, NL., 1996. Pharmacology of Nicotine : Addiction and Therapeutics. Ann Rev Pharmacology Toxicology, 36 : 597 – 613.
  2. Benwell M.E., alfour D.J. and Anderson J.M. 1998. Evidence that tobacco smoking increase the density of [3H]nicotine binding sites in human brain. Journal of Neurochemistry, Vol 50: 1243-1247.
  3. Breese C.R., Marks M.J., Logel J.L., Adams C.E., Sullivan B., Collins A.C., and Leonard S. 1997. Effect of Smoking History on [3H]Nicotine Binding in Human Postmortem Brain. JPET. 282:7-13,1997.
  4. Decker, M.S., Brioni, J.D., 1997. Neuronal Nicotinic Receptors: Potential Treatment of Alzheimer Disease with Novel Cholinergic Channel Modulators. Pharmacological Treatment of Alzheimer’s Disease. Chap.19., pp.433-459, Wiley-Liss, New York.
  5. Grundman, M., Thal, L.J., 2000. Treatment of Alzheimer’s Disease: Rationale and Strategies. Neurology Clinics, 18 (4), 807-828.
  6. Hajos, M., Engberg, G., 1988. Role of primary sensory neurons in the central effects of nicotine. Psychopharmacol, 94:468-470
  7. Jarvis, M.J., 2004. Why People Smoke. BMJ vol. 328
  8. Joseph, A.M., Norman, S.M., Ferry, L.H., Prochazka, A.V., westman, E.C. Steele, B.G. 1996. The Savety of Transdermal Nicotine as an Aid to Smoking Cessation in Patients with Cardiac Disease. The New England Journal of Medicine; 335 : 1792 – 1798.
  9. Mitchell S.N., Smith K.M., Joseph M.H and Gray J.A., 1997. Acute and chronic effects of nicotine on catecholamine synthesis and release in the rat central nervous system. In: The biology of nicotine: Current Research Issues (PM Lippiello, AC Collins, JA Gray and JH Robinson, eds.) Raven Press, New York: 98-119.
  10. Picciotto M.R., Zoli. M.,Rimondini R., Lena C., Marubio L.M., Pich EM., Fuxe K and Changeux J.P., 1998. Acetylcholine receptors containing the beta2 subunit are involved in the reinforcing properties of nicotine. Nature, 391:173-177.
  11. Rasyid,R. 1984. Paru sehat pembangunan meningkat, Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 34. No. 9 : 556 – 559.
  12. Robertson D., Tseng C,J., Appalsamy M. 1988. Smoking and Mecanisms of Cardiovascular Control. Am Heart J : 115 : 258.
  13. Shochat, M., Lucchesi, M., 2000. Toxicity, Carbon Monoxide. eMedicine Journal,Volume 2, Number 5.
  14. Svensson, T.H., 2000. Dysfunctional Brain Dopamine Systems Induced by Psychotomimetic NMDA Receptor Antagonists and The Effects of Antipsychotic Drugs. Brain Res. Rev. 31 (2-3):320-329.
  15. Tambunan, KL., Haryanto, R., Zubairi, D., Abidin, W., 1987. Konsep Mutakhir Hemoreologi. Dalam : Naskah Lengkap Forum Diskusi Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta.
  16. Thom, S.R., 1990. Carbon Monoxide-mediated Brain Lipid Peroxidation in The Rat. J Appl Physiol;68: 997-1003.
  17. Wildan Asfan. 2002. Lingkungan Kerja Tanpa Rokok ( Dalam Rangka Hari Tembakau Sedunia ). Kompas.
  18. Wilson, A.L. 1995. Nicotine patches in alzheimer’s disease: pilot study on learning, memory, and safety. Pharmacol Biochem Behav; 51:509-14.

Stroke Perdarahan dan Stroke Infark

Stroke Perdarahan dan Stroke Infark - Stroke merupakan gangguan fungsional otak fokal maupun global yang terjadi secara akut, berlangsung lebih dari 24 jam, terjadi akibat gangguan peredaran darah otak. Termasuk disini perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral dan iskemik atau infark serebri. Tidak termasuk disini gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma (WHO,1986).

Penentuan terapi stroke saat ini berdasarkan jenis patologi stroke iskemik atau perdarahan. Diagnosis baku emas (gold standard) dengan menggunakan CT Scan atau MRI yang jumlahnya masih sangat terbatas di Indonesia. Berbagai skoring untuk menentukan jenis patologi stroke tetapi reliabilitasnya belum teruji. Suatu tes diagnostik pengganti, Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM), dapat digunakan sebagai diagnosis pengganti dalam menetukan jenis patologi stroke dengan parameter penurunan kesadaran, nyeri kepala dan refleks babinski ( Dahlan 1999 ; Lamsudin, 1999). Berdasarkan anamnesis penderita ini hanya ditemukan adanya penurunan kesadaran, diawali nyeri kepala, pelo dan kelemahan anggota gerak kiri. Berdasarkan anamnesis terdapat penurunan kesadaran serta pada pemeriksaan didapatkan refleks babinski positif, dan penurunan kesadaran sehingga menurut ASGM, penurunan kesadaran dan refleks babinski positif pada penderita ini, maka diagnosis dicurigai sebagai stroke perdarahan.

1. Stroke perdarahan
Lebih kurang 15% penderita stroke, mengalami stroke perdarahan. Termasuk didalamnya perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid akibat pecahnya aneurisma, malformasi arteriovenosa, alkoholisme, diskrasia darah dan angiopati amiloid (Toole, 1990 ; Lindsay, 2000).

Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi daripada perdarahan subarakhnoid, juga lebih banyak menyebabkan kematian dan disabilitas daripada infark dan perdarahan subarkhnoid, lebih sering pada orang kulit hitam dewasa muda. Perdarahan intraserebral spontan dibedakan atas perdarahan primer dan perdarahan simtomatik sekunder, penyebab utama simtomatik adalah aneurisma, AVM, tumor dan kelainan pembekuan darah. Sebagian besar perdarahan primer (70 - 80%) berhubungan dengan hipertensi, sedangkan lokasi yang paling sering untuk perdarahan tipe ini adalah ganglia basalis (65%), batang otak (10%) serebelum (10%), subkortikal(15%) (Heiskanen,1993).

Faktor risiko tertinggi untuk terjadinya perdarahan di otak adalah hipertensi. Pecahnya mikroaneurisma dalam arteriola, menyebabkan perdarahan di thalamus, pons atau serebellum, dikarenakan di daerah tersebut pembuluh darah arteri yang pendek, lurus dan sedikit cabang. Jarak antara arteri dan kapiler relatif pendek, sehingga arteriola harus menahan tekanan tinggi yang berasal dari arteri besar ( Mardjono, 1998).

2. Stroke Infark
Hampir 85 % dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark, yang terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak. Pada keadaan normal, aliran darah ke otak adalah 58 ml/100 gram jaringan otak setiap menit. Bila hal ini turun sampai 18 ml/100 gram jaringan otak setiap menit maka aktivitas listrik neuron terhenti tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel (Toole, 1990 ; Lindsay, 2000).

Recurrent Stroke
Meskipun stroke itu sendiri memiliki onset yang akut, namun bagi pasien yang selamat, mereka harus menghadapi kemungkinan yang berlangsung kronik. Yang sering dialami adalah : recurrent stroke, demensia dan depresi (Asmedi dan Lamsudin, 1998)

Studi terakhir menunjukkan, plak aterosklerotik di arkus aorta dengan tebal > 4mm, merupakan faktor risiko untuk terjadinya recurrent stroke dan gangguan vaskuler lain (infak miokard, emboli perifer, dan kematian akibat vaskuler) (Greenberg, 2001).

Referensi :
Asmedi A., Lamsudin R., 1998, Manajemen Stroke Mutakhir: Prognosis Stroke dalam Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 14 nomer 1

Greenberg M.S., 2001, Handbook of Neurosurgery, 5th Edition, Thieme, Medical Publisher, New York

Lamsudin, R., 1997, Algoritma Stroke Gadjah Mada (disertasi doctor), Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta

Lindsay,K.W., 2000, Limb Weakness, Neurology and Neurosurgery Illustrated, Third Edition, Longman Group (FE) Ltd, Hongkong.

Toole,J.F., 1990, Cerebrovasculer Disorder, Fourth ed. Reven Press BookLtd., New York

Peranan Spesialis Saraf

Peranan Spesialis Saraf - Nyeri memang sebuah entitas yang sangat kompleks. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nyeri memberi dampak yang sangat luas, dan dibutuhkan penanganan multidisipliner. Timbul pertanyaan, sejauh mana peranan spesialis saraf ? Nyeri yang tidak tertangani dengan baik menyebabkan penderitaan, disabilitas, dan depresi. Seluruh dokter, termasuk spesialis saraf, mempunyai tugas etis untuk mengatasi nyeri dan penderitaan. Spesialis saraf harus melakukan evaluasi dan tatalaksana adekuat untuk pasien dengan nyeri kronik, secara personal, merujuk, atau dalam satu tim kerja.

Spesialis saraf mempunyai tanggung jawab terhadap pasien nyeri sehubungan dengan keahliannya dalam pemeriksaan neurologis dan interpretasinya, termasuk pemeriksaan penunjang spesifik, dan dasar terpenting adalah sistem saraf memegang peranan penting dalam persepsi dan mediasi nyeri. Spesialis saraf selayaknya mempunyai kemampuan untuk mengukur nyeri dan dampaknya pada pasien. Konsep lama yang menyatakan bahwa nyeri hanya bisa dirasakan atau dilaporkan oleh penderita (subjektif) hendaknya mulai ditinggalkan karena saat ini, demi penanganan nyeri yang adekuat, kita harus bisa menerjemahkan keluhan subjektif itu ke hal yang objektif, dapat diukur, dalam berbagai aspek, supaya kita mengerti apa yang harus kita lakukan, demi supaya pasien mendapatkan yang terbaik. Field mengungkapkan pentingnya assessment nyeri dengan ungkapan “if you don’t measure it, you can’t improve it”. (Yudiyanta & Meliala, 2008). Follow up neurologis sering memegang peranan penting dalam memonitor terapi. Spesialis saraf mempunyai keahlian dalam pemberian terapi farmaka yang cukup rumit, termasuk dalam kasus nyeri.

American Academy of Neurology (AAN) menyatakan bahwa sejumlah Spesialis Saraf di negara itu menghindar atau tidak bersedia mengobati pasien nyeri kronik sehubungan dengan tidak adekuatnya pelatihan/pendidikan dalam hal diagnostik, ketidaktahuan akan metode terapi nyeri dan pengukuran outcome, keterbatasan waktu, kurangnya dukungan multidisipliner, keterbatasan kompensasi, atau masalah medikolegal lainnya. Mempertimbangkan pentingnya penanganan nyeri, sejak 1997 AAN telah merekomendasikan bahwa Assessment nyeri yang baik, dan edukasi pasien termasuk dalam bidang penilaian akreditasi rumah sakit di Amerika. AAN merumuskan kewajiban etik seorang Spesialis Saraf dalam penanganan nyeri kronik non kanker (termasuk sefalgia, fibromialgia, neuropati, sindroma “failed back”, dan "Chronic Regional Pain Syndrome”) sebagai berikut (AAN, 2001):

1. Mempunyai pengetahuan adekuat tentang nyeri kronik dan kompeten dalam pendekatan manajemen efektif, termasuk terapi farmakologis, termasuk opioid, dan terapi lainnya.
2. Memastikan bahwa pasien nyeri kronik non kanker menjalani evaluasi diagnostik adekuat untuk masalah medik maupun psikologis
3. Mempertimbangkan riwayat pribadi pasien terkait masalah medis, dan sosial, dengan perhatian pada kondisi komorbid dan riwayat pengobatan yang mungkin memperberat penyakit atau risiko dari terapi tertentu
4. Mempertimbangkan metode analgesia alternatif
5. Memonitor efek samping dan efektivitas analgesia serta status kognitif dan psikologis pasien, dan waspada terhadap kemungkinan penyalahgunaan obat
6. Menyimpan catatan lengkap tentang indikasi terapi, peresepan, dan outcome terapeutik dalam setiap kunjungan pasien sambil tetap menjaga kerahasiaan pasien
7. Merujuk kepada ahli yang sesuai, atau program multidisipliner atau bentuk lain pelayanan kesehatan tersier untuk penangan lebih lanjut bila diperlukan.

Referensi :
1. American Academy of Neurology, 2001. Ethical consideration for neurologist in the management of chronic pain, Neurology; 57:2166-2177.
2. Yudiyanta, Meliala, L. 2008, Assessment Nyeri. Dalam: Meliala, L., Suryamiharja, A., Wirawan, R.B., Sadeli, H.A., Amir, D. (ed). Nyeri Neuropatik. Medikagama Press, Yogyakarta.