Definisi Alat Ukur dan Jenis Merokok

Definisi Alat Ukur dan Jenis Merokok - Dipekirakan tahun 1998 terdapat 1,2 biliun perokok diantara 6 biliun penduduk dunia, dengan prevalensi 48% pria dan 12 % wanita (WHO, 2003). Dari data presentase rata-rata di Indonesia terdapat lebih kurang 5% wanita dan 59% pria mempunyai kebiasaan merokok (Dep. Kes. R.I., 2000). Saat ini Indonesia merupakan negara keempat di dunia dengan jumlah perokok terbanyak, setelah Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Konsumsi rokok di negeri ini naik 44 persen selama kurun waktu tujuh tahun, yaitu selama tahun 1990 hingga 1997 (Walujani, 2002).

Di dalam rokok dan asapnya terdapat nikotin, tar dan banyak lagi zat-zat maupun senyawa kimia serta berbagai radikal bebas yang berjumlah sekitar 4000 macam (The California report July 2002) yang dapat menimbulkan kerusakan sel dan mendasari berbagai keadaan patologis seperti kanker, penyakit respiratorik, penyakit hati, rematik arthritis dan penyakit kardiovaskuler (Wijaya, 1997). Selanjutnya Depkes RI 1986-1992 mencatat angka kematian oleh penyakit jantung meningkat 9,7% (sebagai penyebab kematian nomor 3) menjadi 16% (sebagai penyebab kematian nomor 1), dan merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit jantung tersebut (Sani, 1994). Kebiasaan merokok tampaknya berhubungan dengan peningkatan sosioekonomi, kebiasaan merokok akan meningkat sejalan dengan peningkatan taraf hidup, sementara kebiasaan ini akan menurun sejalan dengan peningkatan pendidikan dan usaha larangan (Winkleby et al., 1990).

Definisi Alat Ukur Merokok
WHO, pada bulan Februari 2000 mendefinisikan bahwa merokok aktif adalah aktifitas meghisap rokok secara rutin minimal satu batang sehari. Menurut Davidson et al (1998) definisi perokok adalah yang telah merokok 1 batang atau lebih tiap hari sekurang-kurangnya selama 1 tahun, jika selama 1 bulan meninggalkan rokok (tidak merokok) disebut sebagai riwayat perokok. Jika selama 5 tahun berhenti merokok maka disebut sebagai mantan perokok (Leffondre et al. 2002).

Berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap, Samet et al (1988) membuat definisi perokok ringan sampai sedang adalah bila rokok yang dihisap <20 data-blogger-escaped-batang="" data-blogger-escaped-berat="" data-blogger-escaped-jika="" data-blogger-escaped-perhari="" data-blogger-escaped-perokok="" data-blogger-escaped-rokok="">20 batang rokok perhari. Secara kwantitatif merokok dibedakan menjadi (1) Perokok aktif ringan : bila merokok sigaret 1-10 batang perhari, (2) Perokok aktif sedang : bila merokok sigaret 11-20 batang perhari dan (3) Perokok aktif berat : bila merokok sigaret 20 batang atau lebih perhari.

Secara lebih terperinci secara kwalitatif derajat berat ringan merokok dinilai dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Penggolongannya berdasarkan Indeks Brinkman tersebut dibagi menjadi (1) Ringan : 1 – 50, (2) Sedang : 51 – 100 dan (3) Berat : > 100.(Debora, 2005)

Dikenal pula pengukuran derajat berat- ringan merokok yang lain, yaitu dalam pack year. Pack year adalah suatu cara pengukuran seseorang telah merokok dalam jumlah dan lama tertentu, yaitu dengan mengalikan jumlah bungkus rokok (pack) yang dihisap perhari dengan lama merokok dalam tahun (year). Sebagai contoh 1 pack year berarti seseorang telah merokok 1 bungkus perhari selama 1 tahun, atau 2 bungkus perhari selama setengah tahun, atau setengah bungkus perhari selama 2 tahun. Merokok digolongkan dalam kategori ringan jika kurang dari 10 pack year dan berat jika lebih dari itu (Debora, 2005).

WHO (2000) menetapkan pengukuran faktor risiko merokok terhadap berbagai macam penyakit dalam WHO December 2000 “ Non Communicable Diseases and Mental Health “ the stepwise approach to risk factor survaillance. Di setiap negara, ditetapkan minimal menggunakan acuan standard (step 2). Khusus untuk negara maju, diharapkan menggunakan acuan yang optimal (step 3).

Pengukuran yang dilakukan tiap level menurut WHO adalah seperti diuraikan pada tabel berikut ini.

Tabel Standard WHO - Pengukuran merokok sebagai faktor risiko penyakit

Tabel Standard WHO - Pengukuran merokok sebagai faktor risiko penyakit

Jenis Rokok
Bahan baku rokok adalah daun tembakau yang dirajang dan dikeringkan. Ada juga daun tembakau yang dikeringkan saja tanpa dirajang, biasanya digunakan sebagai rokok cerutu. Setelah dirajang dan dikeringkan, tembakau dibungkus dengan kertas rokok. Inilah yang disebut dengan rokoh putih. Bila kedalam rokok putih tersebut ditambah cengkeh atau bahan lainnya, maka disebut rokok kretek. Apabila tembakau dirajang, dikeringkan lalu dibungkus dengan daun jagung kering, itu disebut rokok kelobot. Rokok tersebut yang ditambah kemenyan dan daun kelembak disebut rokok kelembak (Yuningtyaswari, dkk. 2001). Saat ini sudah banyak produsen rokok yang memproduksi rokok rendah tar dan nikotin. Ada pula pabrik rokok yang berusaha mengurangi efek rokok terhadap kesehatan tubuh dengan menggunakan filter guna mengurangi jumlah partikel debu dari asap rokok. Filter dapat digunakan pada rokok putih, rokok kretek maupun rokok pipa, sehingga dapat mengurangi angka terjadinya beberapa penyakit akibat merokok bagi si perokok (Murbawani, 2002).

Kandungan gas CO yang dilepaskan diudara pada jenis rokok pipa 2 kali lebih besar, bahkan pada jenis rokok cerutu 5 kali lebih besar dari pada rokok putih. Hal ini tentu berdampak buruk pada lingkungan (Wildan, 2002).

Referensi:
  1. Davidson, A.G., Taylor, A.J.N., Darbyshire, J., Cheetle, D.R., Gutrie,C.J.G., O’ Malley, D. 1988. Cadmium Fume Inhalation and Emphysema in Lancet :663-667.
  2. Debora Orrick. 2005. How can I tell if smoking has damaged my health ? iVillage.
  3. Leffondre, K., Abrahamowicz, M., Siemiatycki, J., Rachet, B. 2002. Modelling Smoking History: A Comparison of Different Approach. American Journal of Epidemiology.
  4. Samet, J.M., Wiggins, C.L., Humble, C.G., Pathak, D.R.,1988. Ciggarette Smoking and Lung Cancer in New Mexico, Am.Rev.Dis 137: 1110-1113.
  5. WHO, 2000. Second Meeting of the working group A/FCTC/WG2/3 on the WHO frame work convention on Tobacco control : Provisional texts of proposed draft elements for a WHO framework convention on tobacco control.
  6. WHO, 2000. Guidelines for controlling and monitoring the Tobacco epidemic.
  7. Wijaya, A. 1997. Rekomendasi baru dari adult treatment panel (ATP II, 1993 NCEP/NIH) untuk diagnosis & pengobatan Hipokolesterolemia. Dalam: Beberapa pemeriksaan laboratorium untuk penyakit kardiovaskuler. Laboratorium Klinik Prodia.
  8. Wildan Asfan. 2002. Lingkungan Kerja Tanpa Rokok ( Dalam Rangka Hari Tembakau Sedunia). Kompas.

Efek Rokok Terhadap Sistim Saraf

Efek Rokok Terhadap Sistim Saraf - Diantara zat kimia dalam rokok yang penting dan telah banyak diketahui berkaitan dengan penyakit adalah tar, benzene, karbon monoksida, nikotin (Tambunan dkk., 1987). Disamping tar yang telah diketahui sejak tahun 1950 sebagai penyebab kanker paru, dua komponen utama yang terkandung dalam rokok adalah karbon monoksida dan nikotin yang berperan pada penyakit kardio dan serebrovaskular (Benowitz, 1996 dan Rasyid, 1984).

Merokok dapat diidentikkan dengan pemberian nikotin. Penelitian klinis oleh Wilson et al, (1995) dan White et al, (1999), menunjukkan pemberian nikotin pada kasus demensia hasilnya menggembirakan. Penelitian histopatologi mendukung penelitian tersebut, didapatkan tingginya afinitas ikatan nikotin di daerah thalamus dan basal ganglia, diikuti hippocampus, frontal temporal dan korteks parietal, dan rendah di globus pallidus dan cerebellum, ini adalah tempat-tempat proses kognisi dan memori (Benwell et al., 1998). Penelitian lain membandingkan antara jumlah masukan nikotin dengan jumlah reseptor nikotinik di hipokampus dan thalamus berbeda antara mantan dan perokok tetap, pada mantan perokok level reseptor nikotin pada regio ini menurun dibanding perokok tetap (Breese et al., 1997). Ini mengindikasikan bahwa dengan berhenti merokok menginduksi reseptor nikotinik secara reversibel setelah berhenti. Pada uji klinis terhadap binatang dan manusia, dengan penghambatan reseptor nikotinik di otak, oleh nikotinik antagonis seperti mecamylamine mengakibatkan terjadi gangguan memori dan penampilan aspek kognitif (Decker & Brioni, 1988; Grundman, 2000).

Efek nikotin menginduksi eksitasi noradrenalin neuron dan meningkatkan pelepasan katekolamin yakni sejenis hormon yang bekerja memacu sistim aliran darah (Hajos dan Engberg, 1988) dan noradrenalin diperkirakan berkontribusi untuk meningkatkan kognisi dan memori (Mitchel et al., 1992). Semakin tinggi kadar nikotin di dalam darah, maka akan semakin hebat pula rangsangannya terhadap postsinaptik di reseptor nikotinik (Picciotto et al., 1998), dengan kata lain merokok akan menghambat proses gangguan kognisi dan memori. Atas dasar inilah beberapa penelitian dilakukan untuk lebih mempertajam pengetahuan tentang pengaruh nikotin terhadap susunan saraf sentral.

Nikotin dikenal dengan nama kimia Beta Pyridil Alfa N methyl pyrolidine merupakan senyawa kimia amine tersier yang tersusun atas cincin pyridine dan pyrolidine. Zat ini pertama kali diperkenalkan oleh Nicot de Villeman pada tahun 1530 dari ekstraksi tumbuhan Nocotiana Tobacco dari genus Solanaceus sejenis tanaman asli di hutan tropis Amerika (Benowitz, 1996).

Mengisap sebatang rokok putih berarti mengkonsumsi 2-3 miligram nikotin. Apabila asapnya tidak dihisap, maka nikotin yang terhisap adalah 1-2 mg. Bagi seseorang yang tidak biasa merokok, kadar 1-2 mg dari nikotin tersebut sudah sangat menimbulkan gangguan berupa pusing dan sakit kepala, mual, muntah, bahkan merasa sakit pada daerah lambung. Dosis nikotin berefek 0,75-1,5 mg pada terminal striatal nikotinik dan dopaminergik, untuk dosis 0,75- 1,5 mg/hari berefek stimulus, sedangkan dosis 3-30 mg/hari berefek merusak yaitu terjadi degenerasi sel neuron. Kandungan nikotin dalam satu batang rokok 0,3-1,3 mg. Pengaruh lainnya dari zat nikotin tersebut adalah menaikan tekanan darah serta mempercepat denyut jantung yang berakibatkan semakin beratnya beban kerja jantung. Nikotin dalam asap rokok juga merupakan penyebab ketagihan merokok (Wildan, 2002).

Nikotin merupakan agonis dari reseptor nikotinik pada ganglion autonom dan neuromuscular junction, namun demikian efek ini tergantung dosis dan cara pemberiannya (Robertson et al., 1988). Efek hormonal dari nikotin berupa peningkatan sekresi vasopresin, hormon adrenokortikotropik dan gastrin dalam darah. Hal ini disebabkan karena nikotin berefek simpatomimetik (Joseph et al., 1995). Nikotin menyebabkan sedasi system saraf pusat. Pada awalnya, dalam jumlah sedikit nikotin mengurangi anxietas. Nikotin diabsorpsi dari asap tembakau di paru. Melalui pemakaian yang rutin, kadar nikotin terakumulasi di tubuh sehingga perokok akan terkena efek nikotin selama 24 jam setiap hari. Nikotin berefek pada suasana hati seperti halnya pada jantung, paru, lambung, neurotransmiter, dan system saraf simpatik. Efek jangka pendek merokok mengakibatkan berkeringat, mual mutah, iritasi tenggorok . selanjutnya keadaan lebih serius bisa timbul yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah serta kanker paru.

Mekanisme nikotin dalam mempengaruhi neurotransmitter di susunan saraf pusat adalah melalui ikatan dengan reseptor cholinergic yang selanjutnya memicu pelepasan dopamine. Pelepasan Dopamin ini berpengaruh pada suasana hati dan nafsu makan. Pada susunan saraf tepi nikotin berpengaruh pada pelepasan catecholamines, adrenaline dan noradrenaline. Pelepasan catecholamine mempunyai efek penting pada fungsi jantung, kekakuan pembuluh darah dan metabolisme lemak (Carr et al., 2000).

Nikotin dalam rokok akan beraksi di otak 10 detik setelah menghisap rokok. Nikotin berikatan dengan reseptor nikotinik yang akan memfasilitasi pelepasan neurotransmitter noradrenergik di locus ceroleus, proses itu penting dalam fungsi kognitif, memori, kewaspadaan dan menurunkan nafsu makan (Svensson et al., 2000). Menurut Decker & Brioni (1997) : (1) keterlibatan neurotransmiter kolinergik pada fungsi kognitif telah terbukti pada percobaan hewan dan manusia, (2) pada demensia maupun penyakit Alzheimer, stimulasi nAChR menghasilkan neurotransmitter dalam jumlah yang lebih rendah, termasuk asetilkolin sendiri, (3) mekanisme nikotinik berpartisipasi dalam kontrol neurogenik terhadap aliran darah otak yang melemah pada demensia maupun penyakit Alzheimer, (4) kemungkinan adanya kemampuan neuroprotektif bahan nikotinik didukung dengan data in vitro dan in vivo serta pengamatan klinis, bahwa pemakaian jangka panjang (merokok) berkorelasi negatif dengan resiko demensia maupun penyakit Alzheimer, (5) berbagai sub-tipe nAChR telah ditemukan di otak, ganglia, sambungan neuromuskular, hingga memungkinkan pengembangan obat yang lebih selektif dan aman dibanding dengan nikotinik sendiri.

Merokok secara signifikan juga sebagai sumber karbon monoksida (CO) (Varon, 1997). Dengan terisapnya CO ketika merokok, maka akan terjadi absorbsi di saluran nafas ke dalam pembuluh darah. CO akan berikatan dengan hemoglobin (Hb), ikatan yang dibentuk mempunyai kekuatan 200-230 kali daripada oksigen, dengan demikian lebih cepat menimbulkan konsentrasi toksik dalam pembuluh darah (Rodkey et al., 1974). Kajian Shochat dan Luchesi, (2001) batas CO mencapai 100 ppm menghasilkan HbCO 16% yang cukup menimbulkan gejala klinis, kemungkinan efek yang ditimbulkan bisa berupa :
  • Penurunan kapasitas untuk membawa oksigen oleh darah.
  • Terjadi perbahan disosiasi karakteristik oksihemoglobin, yang akhirnya terjadi penurunan penyampaian oksigen ke jaringan, terutama otak dan jantung.
  • Penurunan respirasi tingkat seluler oleh karena terganggunya sitokrom a3.
Setelah terjadi hipoksia jaringan otak, selanjutnya menimbulkan efek cedera pada otak oleh karena gangguan perfusi, hal ini memacu radikal bebas dan unsur-unsur peradangan, selanjutnya terjadi kematian jaringan otak (Okeda et al., 1989). Bersamaan dengan itu, CO juga menimbulkan lipid peroksidasi yang mempercepat kerusakan jaringan otak (Thom, 1990).

Jalur Skema Efek Rokok di Otak
Jalur Skema Efek Rokok di Otak


Hipotesa mechanism of action dari nikotin juga melibatkan pelepasan dari neurotransmitter (norepinefrin, dopamin, serotonin, GABA, glutamat) melalui stimulasi dari presinap reseptor nkotinik (Norberg, 1999).

Nikotin berefek pervasif pada kimia neuron otak. Mengaktivasi nicotinic acethylcoline receptors (nAchRs) yang tersebar di otak dan menginduksi pelepasan dopamin di nukleus accumben. Efek ini identik dengan penyalahgunaan narkoba dan dianggap sebagai mekanisme penyebab adiksi di otak, terlihat seperti gambar di bawah.

Jalur adiksi nikotin di otak
Jalur adiksi nikotin di otak

Jarvis (2004) mengutarakan nikotin merupakan stimulan psikomotor, pada pengkonsumsi jangka pendek akan mempercepat reaksi dan meningkatkan performa pada pekerjaan yang membutuhkan perhatian, tetapi pada konsumsi jangka panjang akan mengakibatkan penurunan performa dan proses kognitif serta mood yang tidak disadari oleh perokok tersebut.

Referensi :
  1. Benowitz, NL., 1996. Pharmacology of Nicotine : Addiction and Therapeutics. Ann Rev Pharmacology Toxicology, 36 : 597 – 613.
  2. Benwell M.E., alfour D.J. and Anderson J.M. 1998. Evidence that tobacco smoking increase the density of [3H]nicotine binding sites in human brain. Journal of Neurochemistry, Vol 50: 1243-1247.
  3. Breese C.R., Marks M.J., Logel J.L., Adams C.E., Sullivan B., Collins A.C., and Leonard S. 1997. Effect of Smoking History on [3H]Nicotine Binding in Human Postmortem Brain. JPET. 282:7-13,1997.
  4. Decker, M.S., Brioni, J.D., 1997. Neuronal Nicotinic Receptors: Potential Treatment of Alzheimer Disease with Novel Cholinergic Channel Modulators. Pharmacological Treatment of Alzheimer’s Disease. Chap.19., pp.433-459, Wiley-Liss, New York.
  5. Grundman, M., Thal, L.J., 2000. Treatment of Alzheimer’s Disease: Rationale and Strategies. Neurology Clinics, 18 (4), 807-828.
  6. Hajos, M., Engberg, G., 1988. Role of primary sensory neurons in the central effects of nicotine. Psychopharmacol, 94:468-470
  7. Jarvis, M.J., 2004. Why People Smoke. BMJ vol. 328
  8. Joseph, A.M., Norman, S.M., Ferry, L.H., Prochazka, A.V., westman, E.C. Steele, B.G. 1996. The Savety of Transdermal Nicotine as an Aid to Smoking Cessation in Patients with Cardiac Disease. The New England Journal of Medicine; 335 : 1792 – 1798.
  9. Mitchell S.N., Smith K.M., Joseph M.H and Gray J.A., 1997. Acute and chronic effects of nicotine on catecholamine synthesis and release in the rat central nervous system. In: The biology of nicotine: Current Research Issues (PM Lippiello, AC Collins, JA Gray and JH Robinson, eds.) Raven Press, New York: 98-119.
  10. Picciotto M.R., Zoli. M.,Rimondini R., Lena C., Marubio L.M., Pich EM., Fuxe K and Changeux J.P., 1998. Acetylcholine receptors containing the beta2 subunit are involved in the reinforcing properties of nicotine. Nature, 391:173-177.
  11. Rasyid,R. 1984. Paru sehat pembangunan meningkat, Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 34. No. 9 : 556 – 559.
  12. Robertson D., Tseng C,J., Appalsamy M. 1988. Smoking and Mecanisms of Cardiovascular Control. Am Heart J : 115 : 258.
  13. Shochat, M., Lucchesi, M., 2000. Toxicity, Carbon Monoxide. eMedicine Journal,Volume 2, Number 5.
  14. Svensson, T.H., 2000. Dysfunctional Brain Dopamine Systems Induced by Psychotomimetic NMDA Receptor Antagonists and The Effects of Antipsychotic Drugs. Brain Res. Rev. 31 (2-3):320-329.
  15. Tambunan, KL., Haryanto, R., Zubairi, D., Abidin, W., 1987. Konsep Mutakhir Hemoreologi. Dalam : Naskah Lengkap Forum Diskusi Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta.
  16. Thom, S.R., 1990. Carbon Monoxide-mediated Brain Lipid Peroxidation in The Rat. J Appl Physiol;68: 997-1003.
  17. Wildan Asfan. 2002. Lingkungan Kerja Tanpa Rokok ( Dalam Rangka Hari Tembakau Sedunia ). Kompas.
  18. Wilson, A.L. 1995. Nicotine patches in alzheimer’s disease: pilot study on learning, memory, and safety. Pharmacol Biochem Behav; 51:509-14.

Tumor Medula Spinalis

Tumor Medula Spinalis - Penyakit neoplastik tulang belakang (spine) sering bermanifestasi sebagai nyeri yang karakteristiknya sulit dibedakan dengan penyebab non-neoplastik (benign). Saat dicurigai adanya tumor spinal harus dipertimbangkan bahwa hal ini mungkin akibat pengaruh keterlibatan jaringan lain yang ada di sekitar kolumna spinalis. Jaringan saraf, jaringan meningeal, tulang dan kartilago dapat mengalami perubahan neoplastik. Struktur-struktur ini dapat menjadi tempat penyebaran tumor ganas melalui aliran limfatik maupun hematogen (Sama, 2004).

Tumor primer spine sangat jarang terjadi dengan insidens kurang dari 5 persen dari keseluruhan tumor yang menyerang tulang. Kanker metastasis tulang belakang cukup sering terjadi. Sekitar 40-80% orang yang meninggal akibat kanker ganas telah terjadi metastasis pada tulang belakang (Sama, 2004).

Gejala tersering dari tumor spine baik jinak maupun ganas adalah nyeri pada wilayah yang terkena. Gejala neurologis yang terjadi adalah akibat dari penekanan terhadap medula spinalis dan radiks. Derajat gangguan neurologis dapat bervariasi dari kelemahan ringan, refleks yang meningkat maupun paraplegia. Hilangnya kontrol terhadap fungsi kandung kemih dan usus besar adalah akibat kompresi langsung dario tumor atau merupakan akibat dari efek massa dari suatu tumor di daerah sakrokoksigeal. Gejala sistemik atau konstitusional jelas terlihat pada keganasan atau proses metastasis (Sama, 2004).

Sekitar 70% lesi simtomatik ditemukan pada daerah torakal, 20% daerah lumbal dan 10% daerah servikal. Lebih dari 50% pasien dengan metastasis tulang belakang mengalami kelainan tulang dengan level yang multipel. Lesi primer metastasis tulang belakang dapat berasal dari keganasan paru (31%), payudara (24%), saluran cerna (9%), prostat (8%), limfoma (6%), melanoma (4%), tak diketahui (2%), lesi lain termasuk mieloma multipel (13%), dan ginjal (1%) (Tse, 2004).

Prosedur diagnostik menyeluruh terhadap tulang sangat dibutuhkan pada kasus-kasus yang dicurigai metastasis. Setiap pasien sebaiknya menjalani pemeriksaan klinis teliti, foto toraks, dan foto seluruh tulang belakang. Pada foto polos dapat terdeteksi adanya erosi pedikel dan korpus vertebra, untuk kemudian dapat diperjelas dengan pemeriksaan MRI dengan atau tanpa kontras dalam melakukan skrining terhadap keterlibatan jaringan lunak. Bone scanning positif pada 60% kasus (Tse, 2004).

Tumor medula spinalis dibagi menjadi 3 kategori yaitu (1) tumor yang berasal dari medula spinalis (intrameduler), (2) tumor yang terletak pada permukaan medula spinalis dan berasal dari meninges atau radiks ( ekstrameduler-intradural), dan tersering adalah (3) tumor yang berasal dari area epidural (ekstradural) yang menekan medula spinalis. Tumor epidural biasanya berupa lesi metastasis, limfoma, plasmasitoma, lipoma atau kordoma. Biasanya merupakan perluasan dari tulang di dekatnya atau massa foramen intervertebral. Massa non-neoplastik ekstrameduler dapat juga timbul, berupa lipomatosis epidural, dan abses bakterial atau tuberkulosis (Victor & Ropper, 2002).

Nyeri akibat tumor medula spinalis dapat terjadi jika tumor tersebut menekan radiks, sering terjadi pada tumor ekstradural dengan manifestasi nyeri radikuler. Pada tumor intrameduler nyeri radikuler lebih jarang terjadi. Adanya keterkaitan antara nyeri radikuler dan onset yang tak jelas (insidious) mendukung kecurigaan ke arah tumor medula spinalis (Gilroy, 2000). Selubung jaringan ikat yang menutupi saraf perifer diinervasi oleh nervi nervorum. Kerusakan, kompresi akibat tumor, dan inflamasi dari selubung ini dapat menimbulkan nyeri (Davis, 2002).

MRI adalah prosedur diagnostik pilihan dalam menegakkan diagnosis tumor medula spinalis. Gambaran detail dari kanalis spinalis dan medula spinalis dalam potongan sagital, aksial atau koronal telah menggeser prosedur diagnostik lain sebagai pilihan utama. Radiografi vertebra dapat mendeteksi adanya pelebaran kanalis spinalis erosi aspek posterior korpus vertebra akibat tumor ekstrameduler. Mielografi juga dapat membedakan tumor intrameduler dan ekstrameduler. Denervasi unilateral akibat tumor dapat dideteksi dengan ENMG. Malformasi arteriovenosa dapat dideteksi dengan angiografi selektif arteri spinalis. Pungsi lumbal mulai ditinggalkan dengan adanya pemeriksaan lain seperti MRI. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya blok spinal, perubahan/perbedaan tekanan dalam kanalis spinalis. Pada blok spinal LCS xantokrom, dan kadar protein yang meningkat (Gilroy, 2000).

Referensi:
  1. Davis, M.P., 2002. Cancer pain, http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/ hematology/cancerpain/cancerpain.html
  2. Gilroy J., 2000., Basic Neurology ,3th Ed. McGraw-Hill Inc, New York.
  3. Sama A.A., 2004, eMedicine Journal, Spinal Tumors.
  4. Tse V., 2004, eMedicine Journal, Metastatic Disease to the Spine and Related Structures.
  5. Victor M., Ropper, A.H., 2002, Adams and Victor’s Manual Neurology, McGraw-Hill, New York.

Hernia Nukleus Pulposus

Hernia nukleus pulposus - Hernia nukleus pulposus adalah suatu keadaan dimana nukleus pulposus menonjol keluar, untuk kemudian menekan ke arah kanalis spinalis melalui anulus fibrosus yang robek (Harsono dan Suharso, 1996 ), atau jebolnya nukleus pulposus ke dalam kanalis vertebralis akibat degenerasi anulus fibrosus intervertebrale (Mardjono, 2000).

Pada umumnnya penyebab langsung adalah suatu trauma, baik yang akut maupun kronik yang mengakibatkan fibrosis dan bagian lateral dari ligamentum posterior, tetapi dapat juga di bagian sentral (Lindsay, 1997). Trauma dapat berupa mengangkat barang berat pada posisi membungkuk, atau melakukan gerakan badan tertentu secara tiba-tiba atau trauma langsung pada daerah lumbal. Meski demikian, pada umumnya HNP dianggap diakibatkan oleh degenerasi diskus intervertebrale.

Hernia nukleus pulposus merupakan salah satu penyebab nyeri punggung bawah yang utama. Skiatika dilaporkan terjadi pada 1-10 % populasi. Nyeri punggung bawah yang terjadi biasanya ringan dan self limited. Rasio laki-laki dan perempuan sebanding, dengan puncak insidensi 25-45 tahun. Pada kasus yang akut, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti sangat dianjurkan. Bila kasus didahului oleh faktor trauma gerak yang jelas, maka penyebab yang paling mungkin adalah HNP atau strain otot lumbal. Hernia nukleus pulposus akan dieksaserbasi oleh duduk dan membungkuk, sementara strain otot akan dieksasrebasi oleh gerakan berdiri dan memutar (Humprhey, 1999).

Gejala utama dari HNP berupa rasa nyeri didaerah punggung bawah yang terjadi secara akut, dapat menjalar melalui nervus ischiadicus yang dirasakan didaerah gluteus, paha bagian belakang sampai tungkai dan kaki (Lindsay,1997). Gejala lain yang dapat ditemukan pada HNP adalah gangguan sensoris dan motoris, berupa parestesi, hipoestesi atau paresis pada dermatom yang bersangkutan. Juga dapat dijumpai refleks achilles yang menurun sampai arefleksia dan atropi otot tertentu. Adanya gejala iritasi atau penekanan pada akar saraf dapat dibangkitkan dengan pemeriksaan klinis. Gejala lain yang dapat ditemukan pada HNP dapat berupa lordosis lumbal yang mendatar, skoliosis, rasa nyeri tekan pada punggung bawah, serta spasme otot punggung (Mardjono, 2000).

Pemeriksaan gold standard untuk diagnosis HNP adalah MRI. Hasil MRI dapat abnormal pada orang sehat tanpa gejala,sehingga keputusan terapi pada HNP adalah gejala dan tanda klinik, dan bukan abnormalitas MRI (Humprey,1999).

Referensi :
1. Humphreys, C., 1999. Clinical evaluation and treatment options for the herniated lumbar disc. American Family Physician; 59(1):575-576.
2. Mardjono,M., Sidharta,P., 2000. Neurologi Klinis Dasar , cetakan ke 8, P.T. Dian Rakyat, Jakarta

Nyeri Punggung Bawah

Nyeri Punggung Bawah - Nyeri punggung bawah merupakan satu dari sepuluh penyakit terbanyak di Amerika Serikat dengan angka prevalensi berkisar antara 7,6-37 %. Puncak insidensi nyeri punggung bawah adalah usia 45-60 tahun (Bratton,1999). Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pada 40% penderita, dan gangguan tidur pada 20% penderita. Sebagian besar (75%) penderita akan mencari pertolongan medis dan 25 % diantaranya perlu dirawat inap untuk evaluasi lebih lanjut (Cohen, 2001).

Sebagian besar nyeri punggung bawah disebabkan oleh penyakit yang tidak serius dengan prognosis baik (Greenberg, 2001). Penyebab tersering adalah (1) lumbar sprain atau strain, (2) degenerasi diskus dan faset, (3) herniasi diskus, dan (4) kanalis stenosis atau fraktur kompresi akibat osteoporesis pada penderita usia lanjut (Cohen, 2001).

Berdasarkan durasi nyeri punggung bawah diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: (1) nyeri punggung bawah akut (< 6 minggu ), (2) sub akut ( 6 – 12 minggu ), dan (3) kronik > 12 minggu ). Klasifikasi ini penting untuk meramalkan prognosis penderita (Bratton, 1999).

Diagnosis nyeri punggung bawah memerlukan penggalian riwayat penyakit dan pemeriksaan yang teliti. Anamnesis dan pemeriksaan yang teliti akan mengarahkan pada etiologi baik mekanik atau sekunder (Bratton, 1999). Penilaian awal pada penderita nyeri punggung bawah adalah untuk mengeksklusikan kemungkinan diagnosis banding penyakit yang serius ( memerlukan penanganan segera dan masif) yaitu tumor, infeksi, dan fraktur (Greenberg, 2001).

Anamnesis pada pasien dengan nyeri punggung bawah harus dapat mendeteteksi adanya faktor resiko, aspek psikologis, dan psikososial penderita. Aspek psikologis dan psikososial sangat besar perannya dalam terapi nyeri punggung bawah. Sehingga bila tidak digali dan diterapi dengan adekuat akan dapat menyebabkan nyeri yang sukar untuk dikendalikan (Meliala, 2008).

Dari anamnesis pasien tersebut didapatkan adanya gambaran nyeri berupa perasaan panas seperti ditusuk-tusuk yang menjalar sampai kedua mata kaki dimana gambaran nyeri seperti ini menggambarkan suatu nyeri neuropatik dan nyeri inflamasi . Deskripsi nyeri neuropatik ditandai dengan rasa terbakar (burning), rasa ditikam, kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia (Meliala, 2004). Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang diakibatkan adanya lesi sistem saraf perifer (seperti pada neuropati diabetika, post-herpetik neuralgia, radikulopati lumbal, dll) atau sentral (seperti pada nyeri pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca stroke, dan nyeri pada sklerosis multipel) (Meliala, 2004).

Nyeri inflamasi ditandai dengan adanya rubor, kalor, tumor, dolor, fungsiolaesa. Rubor dan kalor disebabkan bertambahnya aliran darah, tumor akibat permeabilitas pembuluh darah, dolor akibat sensitisasi nosiseptor dan berakhir dengan penurunan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi ( fungsiolaesa). Nyeri inflamasi pada pasien ini di gambarkan dengan adanya perasaan terasa panas, nyeri bisa terjadi spontan, dan penurunan fungsi, dengan perubahan posisi atau berjalan dan posisi tidur didapatkan adanya pemberatan nyeri

Nyeri nosiseptif dapat timbul jika ada stimulus yang cukup kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan adanya stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi fisiologis vital ( Meliala, 2004). Jenis nyeri ini juga didapatkan pada pasien dengan adanya peningkatan nyeri akibat stimulus pada daerah boyok.

Pada penderita ini nyeri punggung bawah digambarkan sebagai suatu perasaan panas dan rasa seperti ditusuk-tusuk dari boyok menjalar sampai mata kaki, nyeri terkadang dirasakan spontan, memberat dengan pergerakan dan stimulus didaerah lesi. Deskripsi nyeri seperti ini merupakan nyeri dengan tipe campuran nosiseptif/inflamatorik dan neuropatik. Berdasar data tersebut diagnosis banding kemungkinan etiologi adalah (1) Hernia Nukleus Pulposus, (2) Tumor spinalis, (3) Lumbar Spinal Stenosis

Referensi :
  1. Bratton,LR, 1999, Assessment and Mangement of Acute Low Back Pain, American Family Physicians,ed.November 1999
  2. Cohen RI, Chopro P, 2001, Low back Pain: Guide to conservative, medical and procedural Therapies, Geriatricts, Vol 1
  3. Greenberg,M.S., 2001. Handbook of Neurosurgery, 5th Ed., Thieme MedicalPublishers, New York
  4. Meliala, L., 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
  5. Meliala, L., 2008. Patofisiologi Nyeri, dalam: Meliala, L., Suryamiharja, A., Wirawan, RB., Sadeli, H.A., Amir, D (eds), Nyeri Neuropatik. Medika Gama Press, Yogyakarta

Apakah Merokok merupakan Faktor Risiko pada Penderita Stroke Infark

Apakah Merokok merupakan Faktor Risiko pada Penderita Stroke Infark? - Stroke merupakan penyakit Cerebro Vaskuler yang menjadi masalah di Negara maju maupun berkembang.

Di Amerika Serikat dan Negara barat lainnya, stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker serta penyebab kecacatan pada usia dewasa yang akhirnya berdampak pada sosial dan ekonomi (Donan et al.,1993; Dopkin, 1995).

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga utama setelah penyakit jantung dan kanker di rumah sakit DR Sardjito (Sutantoro &Lamsudin,1993).

Shinton dan Bevers(1989) melakukan studi meta analisis terhadap 32 penelitian dari tahun 1965 sampai 1989 mengenai hubungan antara merokok dan stroke; didapatkan bahwa seorang perokok berisiko mendapat serangan stroke sebesar 1,5 kali dibandingkan yang tidak merokok (RR gabungan 1,5 dengan CI antara 1,4-1,6).

Sasongko (1999) melakukan studi meta analisis dari 8 penelitian dengan rancangan kusus control dan 2 penelitian dengan rancangan kohort, secara keseluruhan didapatkan bukti bahwa merokok merupakan factor risiko terjadinya stroke. Untuk stroke infark, OR pada perokok dibanding yang tidak merokok adalah 1,86 (dengan 95% CI antara 1,59 – 2,19).

Menurut Bronner et al. (1995), merokok merupakan penyebab utama terjadinya terjadinya stroke infark dan perdarahan.

Hankey (1999) meneliti hubungan antara merokok dengan stroke, yang masih belum jelas apakah merokok dapat menyebabkan stroke. Simoncini (2001) mengemukakan bahwa merokok sebagai factor risiko stroke selalu disertai dengan factor risiko lainnya, seperti hipertensi, kardiopati, diabetes, vaskulopati perifer, hiperlipidemia, kontrasepsi oral; sehingga peran merokok dalam patogenesis stroke masih sulit dipastikan. Sampai saat ini disimpulkan bahwa merokok termasuk factor risiko tunggal yang belum terbukti dengan pasti apakah dapat menyebabkan stroke, dan termasuk yang diobati (Dyken et al, 1984 cit Musfiron & Lamsudin, 1998)

Apakah Merokok merupakan Faktor Risiko pada Penderita Stroke Infark? Coba deh diteliti untuk mengetahui lebih lanjut.

Stroke Perdarahan dan Stroke Infark

Stroke Perdarahan dan Stroke Infark - Stroke merupakan gangguan fungsional otak fokal maupun global yang terjadi secara akut, berlangsung lebih dari 24 jam, terjadi akibat gangguan peredaran darah otak. Termasuk disini perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral dan iskemik atau infark serebri. Tidak termasuk disini gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma (WHO,1986).

Penentuan terapi stroke saat ini berdasarkan jenis patologi stroke iskemik atau perdarahan. Diagnosis baku emas (gold standard) dengan menggunakan CT Scan atau MRI yang jumlahnya masih sangat terbatas di Indonesia. Berbagai skoring untuk menentukan jenis patologi stroke tetapi reliabilitasnya belum teruji. Suatu tes diagnostik pengganti, Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM), dapat digunakan sebagai diagnosis pengganti dalam menetukan jenis patologi stroke dengan parameter penurunan kesadaran, nyeri kepala dan refleks babinski ( Dahlan 1999 ; Lamsudin, 1999). Berdasarkan anamnesis penderita ini hanya ditemukan adanya penurunan kesadaran, diawali nyeri kepala, pelo dan kelemahan anggota gerak kiri. Berdasarkan anamnesis terdapat penurunan kesadaran serta pada pemeriksaan didapatkan refleks babinski positif, dan penurunan kesadaran sehingga menurut ASGM, penurunan kesadaran dan refleks babinski positif pada penderita ini, maka diagnosis dicurigai sebagai stroke perdarahan.

1. Stroke perdarahan
Lebih kurang 15% penderita stroke, mengalami stroke perdarahan. Termasuk didalamnya perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid akibat pecahnya aneurisma, malformasi arteriovenosa, alkoholisme, diskrasia darah dan angiopati amiloid (Toole, 1990 ; Lindsay, 2000).

Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi daripada perdarahan subarakhnoid, juga lebih banyak menyebabkan kematian dan disabilitas daripada infark dan perdarahan subarkhnoid, lebih sering pada orang kulit hitam dewasa muda. Perdarahan intraserebral spontan dibedakan atas perdarahan primer dan perdarahan simtomatik sekunder, penyebab utama simtomatik adalah aneurisma, AVM, tumor dan kelainan pembekuan darah. Sebagian besar perdarahan primer (70 - 80%) berhubungan dengan hipertensi, sedangkan lokasi yang paling sering untuk perdarahan tipe ini adalah ganglia basalis (65%), batang otak (10%) serebelum (10%), subkortikal(15%) (Heiskanen,1993).

Faktor risiko tertinggi untuk terjadinya perdarahan di otak adalah hipertensi. Pecahnya mikroaneurisma dalam arteriola, menyebabkan perdarahan di thalamus, pons atau serebellum, dikarenakan di daerah tersebut pembuluh darah arteri yang pendek, lurus dan sedikit cabang. Jarak antara arteri dan kapiler relatif pendek, sehingga arteriola harus menahan tekanan tinggi yang berasal dari arteri besar ( Mardjono, 1998).

2. Stroke Infark
Hampir 85 % dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark, yang terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak. Pada keadaan normal, aliran darah ke otak adalah 58 ml/100 gram jaringan otak setiap menit. Bila hal ini turun sampai 18 ml/100 gram jaringan otak setiap menit maka aktivitas listrik neuron terhenti tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel (Toole, 1990 ; Lindsay, 2000).

Recurrent Stroke
Meskipun stroke itu sendiri memiliki onset yang akut, namun bagi pasien yang selamat, mereka harus menghadapi kemungkinan yang berlangsung kronik. Yang sering dialami adalah : recurrent stroke, demensia dan depresi (Asmedi dan Lamsudin, 1998)

Studi terakhir menunjukkan, plak aterosklerotik di arkus aorta dengan tebal > 4mm, merupakan faktor risiko untuk terjadinya recurrent stroke dan gangguan vaskuler lain (infak miokard, emboli perifer, dan kematian akibat vaskuler) (Greenberg, 2001).

Referensi :
Asmedi A., Lamsudin R., 1998, Manajemen Stroke Mutakhir: Prognosis Stroke dalam Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 14 nomer 1

Greenberg M.S., 2001, Handbook of Neurosurgery, 5th Edition, Thieme, Medical Publisher, New York

Lamsudin, R., 1997, Algoritma Stroke Gadjah Mada (disertasi doctor), Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta

Lindsay,K.W., 2000, Limb Weakness, Neurology and Neurosurgery Illustrated, Third Edition, Longman Group (FE) Ltd, Hongkong.

Toole,J.F., 1990, Cerebrovasculer Disorder, Fourth ed. Reven Press BookLtd., New York

Patofisiologi Cedera Kraniospinal

Patofisiologi Cedera Kraniospinal - Trauma merupakan masalah kesehatan utama dengan konsekuensi sosial ekonomi yang serius (Tolias & Bullock, 2004).

Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun, dan merupakan penyebab kematian nomor 4 seluruh populasi. Lebih 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75 000 orang meninggal dunia dan lebih 100 000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (York, 2000).

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat data nasional cedera medula spinalis (The National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan bahwa ada 10 000 kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisa komplet akibat akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100 000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200 000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis (York, 2000).

Patofisiologi
Trauma kepala dapat menyebabkan kerusakan fokal dan difus. Iskemik, cedera akson difus, hematoma fokal/kontusio dan edema akan terjadi progresif setelah trauma dan akan menyebabkan kematian sel neuron (Tolias & Bullock, 2004).

Medula spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa mekanisme . Cedera primer meliputi satu atau lebih proses dan gaya berikut : kompresi akut, benturan, distraksi, laserasi dan luka tembak. Mekanisme yang paling sering ditemui adalah kombinasi dari benturan akut dan kompresi persisten yang terjadi pada burst fracture atau fraktur dislokasi dengan kompresi persisten pada medula spinalis oleh tulang, diskus, hematom atau kombinasinya (Tator, 1996).

Cedera primer ditimbulkan oleh adanya pengaruh kekuatan dan tekanan langsung terhadap medula spinalis yang mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah kecil intrameduler, menyebabkan perdarahan pada substansia grisea dan mungkin vasospasme. Semua ini akan menyebabkan penurunan kemudian diikuti oleh pengurangan yang serupa pada substansia alba. Akibat selanjutnya akan terjadi iskemik yang memacu peristiwa kaskade biokimia yang menandakan dimulainya proses cedera sekunder (Grover, 2001).

Cedera sekunder merupakan tahapaan lanjut dari kerusakan otak dan medula spinalis yang muncul dalam beberapa menit hingga berjam-jam setelah cedera primer (Seidl, 1999; Grover, 2001).

Eksitotoksik
Pada penelitian in vitro keadan iskemik fokal (kekurangan oksigen dan glukose) menyebabkan metabolisme anaerob dengan peningkatan sel glikolisis, produksi laktat, membran ion homeostasis terganggu, pelepasan eksitotoksik  terutama glutama), edema sel, calsium maasuk dalam sel.

Kepustakaan:
Grover, VK., Tewari, MK., Gupta, SK., Kumar, KV., 2001. Anestetic and Intensive Care Aspect of Spinal Cord Injury. Neurol India; 49 :11-18.

Seidl, EC., 1999. Promising Pharmacological Agents in the Management of Acute Spinal Cord Injury. Crit Care Nurs Q; 22(2): 44-50.

Tator, CH., 1996. Pathophysiology and pathology of spinal cord injury in Wilkins, RH & Rengachary S. S (eds) : Neurosurgery ed 2 pp : 2847-2859, McGraw-Hill New York.

Tolias, CM & Bullock, MR., 2004. Critical Appraisal of Neuroprotection Trials in Head Injury : What Have We Learned?. The Journal of the American Society for Experimental Neuro Therapeutics; Vol 1: 71-79.

York, JE., 2000. Approach to The Patient With Acute Nervous System Trauma, Best Practice of Medicine, September 2000.

Aspek Imunologi Obesitas

Aspek Imunologi Obesitas - Ciri khas obesitas ditunjukkan dengan adanya peningkatan massa jaringan lemak atau adiposa. Diduga bahwa sekresi hormon atau zat aktif lain seperti sitokin oleh jaringan adiposa menyebabkan berbagai kelainan metabolisme seperti terganggunya sensitivitas insulin, kelainan metabolisme lemak dan fungsi-fungsi sel pada sistem kekebalan tubuh (imunitas) seperti reaksi inflamasi Noviyanti, 2004).

Sel-sel lemak merupakan tempat sekresi sitokin yang berperan dalam proses inflamasi (proinflammatory cytokines). Pada obesitas dapat terjadi inflamasi kronik akibat peningkatan kadar sitokin yang dikeluarkan oleh jaringan lemak serta aktivasi molekul-molekul signaling yang berperan pada proses inflamasi.

Pengetahuan mengenai mekanisme sistem imun pada obesitas masih relatif baru. Penelitian yang bertujuan untuk melihat adanya pengaruh sistem imun pada obesitas banyak memanfaatkan hewan percobaan. Pada manusia, pengukuran kadar komponen sistem imun seperti sitokin pada darah, sistem saraf pusat, berbagai jaringan otot rangka, jaringan endotel maupun sel hati dijadikan parameter untuk melihat adanya peranan molekul tersebut pada individu dengan obesitas. Beberapa zat aktif seperti hormon dan sitokin telah dibuktikan berhubungan dengan obesitas antara lain tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-6, IL-8, IL-10, leptin dan adiponektin.

IL-6 merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang disekresi monosit, makrofag dan jaringan adiposa. Pada manusia, IL-6 dapat memacu reaksi inflamasi. Peningkatan kadar IL-6 berhubungan dengan resistensi insulin pada penderita obesitas dan diabetes tipe-2. IL-6 dapat menginduksi produksi TNF- α pada reaksi in vitro yang diperantarai oleh TNF-α-induced adipose related protein. TNF- α merupakan komponen sitokin yang berperan dalam proses imunomodulator dan respon inflamasi. Peningkatan kadar TNF-α dijumpai pada hewan coba dan manusia yang menunjukkan tanda obesitas (Noviyanti, 2004).

IL-8 merupakan sitokin proinflamatori yang disekresi oleh jaringan adiposa. Peran IL-8 pada obesitas belum jelas. Suatu penelitian menemukan adanya hubungan peningkatan kadar IL-8 serum dengan patogenesis aterosklerosis pada obesitas. Kadar IL-8 serum ditemukan meningkat sejalan dengan peningkatan jaringan adiposa dan TNF-α pada individu dengan obesitas (Straczkowski et al., 2002 cit Noviyanti, 2004). Namun demikian, penelitian lain tidak menemukan adanya hubungan antara peningkatan kadar IL-8 serum dengan peningkatan berat badan (Bruun et al., 2002 cit Noviyanti, 2004).

IL-10 merupakan sitokin anti-inflamatori yang disekresi oleh jaringan adiposa. IL-10 mampu menghambat aktivasi TNF-α seperti yang ditunjukkan pada penelitian yang mengguanakan sel-sel monosit manusia (Schottelius et al., 1999 cit Noviyanti, 2004).

Leptin merupakan hormon yang dihasilkan oleh jaringan lemak yang berfungsi mengatur metabolisme untuk keseimbangan energi dan berat badan. Secara umum leptin berperan dalam menghambat rasa lapar dan meningkatkan metabolisme energi. Pada suatu individu, jaringan lemak yang berukuran besar mengandung lebih banyak leptin dibandingkan dengan jaringan lemak yang lebih kecil. Pada individu dengan obesitas, dijumpai adanya resistensi leptin dimana terjadi gangguan transportasi leptin pada otak. Hipotalamus pada individu dengan obesitas menjadi kekurangan leptin akibat terganggunya transportasi leptin dari darah menuju jaringan otak (Caro et al., 1996).

Adiponektin adalah protein spesifik jaringan adiposa yang terdapat pada sistem sirkulasi. Regulasi adiponektin dipengarui oleh sekresi sitokin antara lain TNF-α. Hubungan penurunan kadar adiponektin serum dengan obesitas dibuktikan pada penelitian yang menggunakan hewan coba mencit yang gen adiponektinnya telah di non aktifkan sehingga kemempuan untuk menghilangkan asam lemak bebas dalam plasma menurun. Tingginya kadar asam lemak bebas dalam plasma merupakan faktor utama penyebab aterosklerosis. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara obesitas, aterosklerosis dan kadar adiponektin (Kern et al., 2003).

Referemsi :

Pengaruh Obesitas Terhadap Fungsi Kognitif

Pengaruh Obesitas Terhadap Fungsi Kognitif - Penelitian Withmer et al., (2005) menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya gangguan kognitif atau demensia pada individu yang mengalami obesitas. Hubungan tersebut diduga terjadi melalui penyakit kardiovaskular dan diabetes, dimana kedua penyakit tersebut terbukti meningkatkan risiko terjadinya demensia. Sementara obesitas dan overweigt terbukti merupakan faktor risiko independen penyakit kardiovaskular pada penelitian FHS dengan memperhitungkan faktor-faktor risiko kardiovakular lainnya seperti hipertensi, diabetes, hiperkholesterol, dan merokok. Obesitas juga merupakan faktor risiko independen penyakit-penyakit metabolik atherogenik seperti diabetes melitus dan dislipidemia (Purnomo, 2004; Tataranni & Bogardus, 2005; Elias et al., 2005).

Namun demikian, perubahan metabolisme glukosa dan faktor risiko vaskular lain tersebut tidak sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara penurunan kognitif dan perubahan perubahan struktur otak dengan obesitas. Hal ini menjadi suatu pemikiran karena pada analisa multivariat model regresi, diabetes dan faktor-faktor vaskular lain tidak berpengaruh terhadap nilai hubungan antara obesitas dengan penurunan kognitif dan perubahan struktur otak tersebut (Elias, 2005; Withmer et al., 2005).

Hingga saat ini terdapat beberapa mekanisme yang diduga memediasi hubungan antara obesitas dan kejadian penurunan kognitif. Obesitas diduga memiliki pengaruh langsung terhadap degradasi neuronal, salah satunya melalui mekanisme inflamasi oleh sitokin-sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh jaringan adiposa seperti interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF α). Defisiensi reseptor leptin yang terjadi pada binatang coba rodensia (tikus) terbukti menyebabkan terjadinya gangguan memori spasial dan gangguan long term potentiation neuron-neuron di hipokampus. Pada individu dengan massa lemak tubuh yang tinggi berhubungan dengan kejadian gangguan kognitif dan demensia juga ditemukan peningkatan C reactive protein (CRP) (Yaffe et al., 2004; Elias et al., 2005; Withmer et al., 2005).

Referensi :
1. Elias, M.F., Elias, P.K., Sullivan, L.M., Wolf, P.A., D’Agostino, R.B., 2003. Lower cognitive function in the presence of obesity and hypertension: the Framingham heart study, International Journal of Obesity, 27,260-268.
2. Purnomo, L.P., 2004. Burdens of obesity on health, dalam: Djokomoeljanto, Darmono, T. Suhartono (penyunting), Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan V Endokrinologi, PERKENI, Semarang.
3. Tataranni, P.A., & Bogardus, C., 2005. Obesity and diabetes mellitus, in: S.E. Inzucchi (editor), The Diabetes Mellitus Manual, sixth edition, Mc.Graw Hill Comp.
4. Whitmer, R.A., Gunderson, E.P.,Barrett-Connor, E.,Quesenberry Jr, CP., Yaffe, K., 2005. Obesity in middle age and future risk of dementia: a 27 year longitudinal population based study. British Medical Journal, vol. 330, 1360-1364.
5. Yaffe, K., Kanaya, A., Lindquist, K., Simonsick, E.M., Harris, T., Shorr, R.I., Tylavsky, F.A., Newman, A.B., 2004. The metabolic syndrome, inflammation and risk of cognitive decline, JAMA, vol. 292, 18, 2237-42.

Definisi dan Kriteria Obesitas

Definisi dan Kriteria Obesitas - Obesitas didefinisikan sebagai kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam bentuk jaringan adiposa sehingga mengganggu kesehatan (Garrow, 1988). Obesitas atau kegemukan terjadi karena konsumsi makanan yang melebihi kebutuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) perhari. Bila kelebihan ini terjadi dalam jangka waktu lama dan tidak diimbangi dengan aktivitas yang cukup untuk membakar kelebihan energi, lambat laun kelebihan energi tersebut akan diubah menjadi lemak dan ditimbun sebagai jaringan lemak dibawah kulit sehingga orang tersebut akan menjadi gemuk (Azwar, 2004).

Pada awalnya, proses penimbunan kelebihan energi tersebut ditandai dengan peningkatan berat badan. Apabila penimbunan semakin banyak maka akan terjadi perubahan anatomis. Penumpukan jaringan lemak pada perempuan biasanya dimulai di sekitar pinggul, paha, lengan atas, pinggang dan perut, baru kemudian meluas ke seluruh tubuh hingga wajah. Penumpukan jaringan lemak pada laki-laki umumnya terjadi di bagian perut (Azwar, 2004).

Kriteria Obesitas
Antropometri merupakan salah satu cara yang mudah, non-invasif, cepat dan reliable dalam menilai secara objektif informasi tentang status gizi seseorang. Antropometri banyak digunakan dalam penelitian-penelitian yang mencakup penilaian status gizi karena memiliki beberapa keunggulan seperti alatnya yang mudah didapat dan digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang dengan mudah dan objektif, pemeriksaan dapat dilakukan tenaga terlatih dan tidak harus profesional khusus, serta hasil yang mudah disimpulkan karena memiliki ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti (Supariasa dkk., 2001).

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indeks yang paling banyak digunakan dalam menilai status gizi secara antropometri. Hal ini dikarenakan pengukuran komponen IMT yaitu berat dan tinggi badan cepat, mudah dan sederhana (Purba, 2004). Massa jaringan bebas lemak (fat-free mass) khususnya otot menurun secara progresif sejalan dengan pertambahan usia. Oleh karena itu, IMT pada lansia kurang dapat menggambarkan massa lemak tubuh karena tidak membedakan pengukuran massa lemak dan massa bebas lemak, atau distribusi lemak tubuh (Price et al., 2006).

Pengukuran massa lemak berdasarkan rasio lingkar pinggang-lingkar panggul (waist-hip ratio = WHR) merupakan indeks antropometri untuk memperkirakan distribusi lemak tubuh seperti yang dianjurkan oleh WHO Expert Comittee in Antropometry. WHR merefleksikan suatu kegemukan abdominal atau viceral atau yang dikenal juga sebagai obesitas sentral (Purba, 2004). Kriteria obesitas sentral menurut WHO (2000) dalam Gibson (2005) adalah > 1,00 untuk individu laki-laki dan > 0,85 untuk perempuan.

Penggunaan WHR meningkat secara dramatis dengan adanya bukti bahwa obesitas sentral tanpa kriteria obesitas lainnya merupakan merupakan suatu faktor risiko yang penting dalam kejadian beberapa penyakit. Beberapa penelitian kohort prospektif membuktikan bahwa baik pada perempuan maupun pria, peningkatan WHR berhubungan erat dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit jantung koroner, stroke dan diabetes melitus (Gibson, 2005). Penelitian Jagust et al., (2005) juga membuktikan bahwa peningkatan nilai WHR memiliki relasi negatif dengan volume hipokampus, dan relasi positif dengan peningkatan hiperintensitas pada MRI otak individu lansia.

Referensi :
1. Azwar, A., 2004. Tubuh sehat ideal, Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Jakarta.
2. Gibson, R.S., 2005. Principles of Nutritional Assesment, 2nd edition, Oxford University Press, New York.
3. Price, G.M., Uauy, R., Breeze, E., Bulpitt, C.J., Fletcher, A.E., 2006. Weight, shape and mortality risk in older persons: elevated waist-hip ratio, high body mass index, is associated with a greater risk of death. American J Clin Nutrition, 84, 449.
4. Purba, M., 2004. Pengkajian Nutrisi pada Usia Lanjut. Kumpulan Makalah Kongres Nasional (KONAS) III/ Temu Ilmiah Nasional II, Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), Yogyakarta.
5. Supariasa, ID.N., Bakri, B., Fajar, I., 2001. Penilaian Status Gizi, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
6. WHO., 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic, Geneva.

Klasifikasi dan Faktor Risiko Gangguan Kognitif

Klasifikasi dan Faktor Risiko Gangguan Kognitif - Proses menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, yang terjadi secara perlahan-lahan. sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constatinides, 2006)

Klasifikasi Gangguan Kognitif
Gangguan kognitif meliputi seluruh keadaan prodormal demensia dan demensia. Gangguan kognitif ringan atau mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu keadaan prodormal demensia yang dapat bersifat menetap (stable) maupun reversibel. Kriteria MCI yaitu terdapat keluhan gangguan memori secara subjektif, gangguan tersebut terbukti secara tes memori (misalnya dengan penilaian MMSE), penampilan kognitif secara global normal, aktifitas hidup sehari-hari masih normal dan belum termasuk kriteria demensia (Soetedjo, 2006).

Klasifikasi demensia menurut PPDGJ-III (1993) / ICD-X (1992) membagi demensia menjadi: (1)F00 Demensia pada penyakit Alzheimer, (2)F01 Demensia vaskuler, (3)F02 Demensia pada penyakit lain yang diketahui, (4)F03 Demensia yang tidak tergolongkan .

Faktor Risiko Gangguan Kognitif
Faktor-faktor risiko gangguan kognitif secara umum dan demensia alzeimer meliputi: (1) yang tidak dapat dikendalikan yaitu usia tua, genetik, jenis kelamin perempuan, gangguan intelektual; (2) yang dapat dikendalikan yaitu hipertensi, diabetes melitus, hiperkholesterol, obesitas, depresi, konsumsi alkohol berlebih; dan (3) faktor risiko lainnya yaitu trauma kepala, infeksi dan tumor intrakranial (National Colaborating Centre for Mental Heatlh, 2007).

Beberapa faktor risiko demensia vaskuler overlap dengan faktor risiko demensia alzeimer. Faktor-faktor risiko tersebut dibagi menjadi 4 golongan yaitu (1)faktor demografi yang meliputi umur tua, ras/etnis (Asia), jenis kelamin (laki-laki), pendidikan rendah dan daerah rural, (2) faktor atherogenik meliputi hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, (3) faktor non atherogenik meliputi genetik, gangguan perdarahan, komsumsi tinggi alkohol, tumor serebral, trauma kepala, infeksi intraserebral dan (4)faktor yang berhubungan stroke meliputi pengurangan volume jaringan otak, lokasi dan jumlah infark (Hebert et al., 2000; Sanusi, 2003).

Referensi :
1. Consatantinides, 2006. Teori proses menua, dalam: R. Boedhi-Darmojo (Penyunting), Geriatri, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Hebert, R., Lindsay, J., Verreault, R., Rockwood, K., Hill, G., Dubois, M. F., 2000. Vascular Dementia Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health and Aging, www. Strokeaha.org.
National Colaborating Centre for Mental Heatlh, 2007. Dementia, The British Psychological Society and Gaskell, pp. 134-143.
3. Sanusi, J., Lamsudin, R., Asmedi, A., 2003. Merokok Sebagai Faktor Risiko Demensia Pada Orang Tua Umur 55-70 Tahun di Kecamatan Mlati Kab. Sleman Jogjakarta, Makalah Penelitian dalam Tesis, Bagian/ SMF I.P. Saraf FK-UGM/ RS.Dr. Sardjito, Yogyakarta.
4. Soetedjo, 2006. Diagnosis gangguan kognitif dan MCI pada usia lanjut, dalam: Hexanto, M., & Trianggoro, B.,(penyunting), Update Management of Neurological Disorders in Elderly, Pertemuan Imiah Tahunan UNDIP-UGM-UNS XXI.

Diagnosis Gangguan Kognitif

Diagnosis Gangguan Kognitif - Pemeriksaan neuropsikologi masih merupakan kunci utama untuk menentukan adanya defisit kognitif. Penilaian fungsi kognitif meliputi lima bagian pokok yaitu atensi, bahasa, memori, visual ruang dan fungsi eksekutif. Atensi adalah kemampuan untuk memfokuskan (memusatkan) dan mempertahankan perhatian pada suatu masalah. Atensi memungkinkan seseorang untuk menyeleksi aliran stimulus eksogen dan endogen yang mengaliri otak yang dianggap perlu dari hal-hal yang perlu diabaikan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan observasi apakah perhatian pasien mudah terpengaruh oleh benda di sekitarnya, salah satu cara pemeriksaannya adalah dengan menyuruh pasien menghitung mundur mulai dari angka 20 (D’Esposito, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).

Bahasa dapat dinilai dari kelancarannya, bicara spontan, komprehensi, repetisi dan penamaan. Bicara spontan dapat dinilai pada waktu wawancara bagaimana kelancaran bicaranya, berputar-putar atau kesulitan mencari kata-kata. Komprehensi dapat dinilai dengan menyuruh pasien melakukan perintah-perintah atau menjawab pertanyaan. Gangguan komprehensi menunjukkan adanya disfungsi lobus temporalis posterior atau korteks lobus parietotemporal (D’Esposito, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).

Pada pemeriksaan visual ruang, pasien disuruh menggambar obyek atau menyalin gambar geometris. Adanya gangguan visual ruang menunjukkan lesi vikal otak di hemisfer posterior. Memori adalah kemampuan untuk mempelajari informasi, mempertahankan, menyimpan dan memanggil kembali suatu informasi. Pemeriksaan fungsi memori dapat dilakukan dengan menilai orientasi tempat dan waktu, atau menilai kemampuan recall. Gangguan fungsi semantik adalah jika pasien tidak bisa menjawab fakta-fakta secara umum, misalnya dalam satu minggu ada berapa hari.

Adanya gangguan memori verbal berarti kerusakan pada hemisfer kiri, sedangkan gangguan memori visual menunjukkan adanya kerusakan pada hemisfer kanan. Gangguan memori recall dan rekognisi berhubungan dengan atrofi lobus temporalis mesial dan talamus (Stout, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).

Fungsi eksekutif terdiri dari pemecahan masalah, pemikiran, abstrak, kalkulasi, dan mengamdil keputusan. Pemeriksaan fungsi eksekutif dapat dilakukan dengan cara pasien disuruh membedakan hal-hal yang mirip misalnya mobil dengan kereta, menginterpretasikan peribahasa, atau menjawab pertanyaan (Sturb, 1997 cit Setyopranoto dkk., 2000).

Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi bertujuan untuk mengkristalkan pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu atau dua pertanyaan. Salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer adalah tes Mini Mental State Examination (MMSE) yang diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon terhadap pengobatan (Turana, 2004).

MMSE sangat reliabel untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana untuk penapisan adanya gangguan fungsi kognitif. MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori jangka pendek, dan kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik (Folstein, 1993 cit Setyopranoto dkk., 2000).

Nilai MMSE dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor sosiodemografik, behavior dan lingkungan. MMSE menilai fungsi-fungsi kognitif secar kuantitatif dengan skor maksimal adalah 30. Berdasarkan skor atau nilai tersebut, status kognitif pasien dapat digolongkan menjadi 3 yaitu status kognitif normal (nilai 24-30), probable gangguan kognitif (nilai 17-23) dan definite gangguan kognitif (nilai 0-16). Pada penelitian ini, gangguan kognitif ditegakkan bila didapatkan nilai MMSE 0-23, yaitu meliputi kriteria probable dan definite gangguan kognitif (Dikot & Ong, 2007).

Yani dkk., (2005) menguraikan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan untuk menilai reliabilitas MMSE, antara lain adalah penelitian oleh Fillenbaum et al., (1990) dengan nilai Kappa = 0,89., Tatemichi et al., (1994) dengan nilai Kappa = 0,96., dan Poungvarrin et al., (1994) dengan nilai Kappa = 0,94. Pada penelitian kesepakatan penilaian MMSE oleh Setyopranoto dan Lamsudin (1999), didapatkan nilai Kappa = 0,98 dengan tingkat kemaknaan yang tinggi yaitu p<0,0001.

Referensi :
1. Dikot, Y., & Ong, PA., 2007. Diagnosa Dini dan Penatalaksanaan Demensia di Pelayanan Medis Primer. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) Cab. Jawa Barat & Asna Dementia Standing Commiitee.
2. Setyopranoto, I., & Lamsudin, R., 1999. Kesepakatan penilaian Mini Mental State Examination (MMSE) pada penderita stroke iskemik akut di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Berkala Neuro Sains vol.1, 1, 73-76.
3. Setyopranoto, I., Lamsudin, R., Dahlan, P., 2000. Peranan stroke iskemik akut terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP. Dr. Sardjito, Berkala Neurosains, vol. 2, 1, 227-234.
4. Turana, Y., Mayza, A., Luwempouw S.F., 2004. Pemeriksaan Status Mini Mental pada usia lanjut di Jakarta. Medika, vol. 30, 9, 563-568.

Patofisiologi Gangguan Kognitif

Patofisiologi Gangguan Kognitif - Mekanisme terjadinya gangguan kognitif atau demensia belum jelas sepenuhnya. Beberapa hipotesis tentang patogenesis demensia yang dikemukakan para ahli antara lain adalah (1) hipotesis genetik, (2) hipotesis toksis dan infeksi, (3) hipotesis vaskuler dan metabolik, serta (4) hipotesis neurotransmiter yaitu hipotesis kholinergik dan involusi sistem neurotransmiter lain.

Beberapa faktor yang diperkirakan sebagai pernyebab gangguan kognitif global adalah (1) gangguan neurotransmiter, (2) gangguan cerebral blood flow, (3) gangguan metabolisme neuron, (4) patologi neuron dan (5) gangguan homeostasis ion kalsium (Ca2+). Namun mekanisme mana yang paling dominan masih dalam perdebatan para ahli (Diaz, 1991)

Pada proses penuaan otak, terjadi penurunan jumlah neuron secara bertahap yang meliputi area girus temporal superior (merupakan area yang paling cepat kehilangan neuron), girus presentralis dan area striata. Secara patologis penurunan jumlah neuron kolinergik akan menyebabkan berkurangnya neurotransmiter asetilklolin sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan perilaku (Kusumoputro, 2003 cit Soetedjo, 2006).

Tatemichi et al., (1994) mengajukan pendapat bahwa pada demensia dimana terjadi defisit kognitif multipleks dan global, terjadi gangguan aktivitas neurotransmiter terutama sistem kolinergik, noradrenergik dan serotonergik baik di substansia alba maupun di substansia nigra. Lesi-lesi serebral terutama yang melibatkan regio spesifik untuk fungsi-fungsi luhur (higher cerebral function) berperan dalam munculnya gangguan kognitif atau demensia. Daerah-daerah tersebut meliputi: (1) area posterior serebrum, (2) area vaskularisasi arteri serebri posterior termasuk talamus dan lobus temporalis inferiomesial dan (3) area yang mendapat vaskularisasi dari arteri karotis interna bagian distal (distal field territory from carotis) termasuk regio frontalis superior dan parietalis.

Pandangan umum yang paling sering diketengahkan sebagai patofisiologi terjadinya gangguan kognitif adalah gangguan neurotransmiter. Dalam keadaan tersebut, dapat terjadi suatu kondisi tertentu pada aktivitas sistem kolinergik, noradrenergik, serotonergik dan dopaminergik di celah sinaptik antar neuron sebagai akibat proses patologik pada sel-sel otak sehingga terjadi gangguan kognitif (Wibowo, 1995).

Referensi :
1. Diaz, M.G., 1991. The Essential Brain, pp.,188-193, Merck, Madrio.
2. Soetedjo, 2006. Diagnosis gangguan kognitif dan MCI pada usia lanjut, dalam: Hexanto, M., & Trianggoro, B.,(penyunting), Update Management of Neurological Disorders in Elderly, Pertemuan Imiah Tahunan UNDIP-UGM-UNS XXI.
3. Wibowo, S., 1995. Neurotransmitter pada demensia, dalam: S. Wibowo & S. Sutarni (penyunting), Demensia Aspek Neurobiologi, Epidemiologi & Tatalaksana,Bagian/SMF I.P.Saraf FK-UGM/RS.Dr.Sardjito, Yogyakarta.

Gangguan Kognitif Pada Lansia

Gangguan Kognitif Pada Lansia - Proses menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, yang terjadi secara perlahan-lahan. sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constatinides, 2006). Proses tersebut menyebabkan manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi serta mengalami distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai ”penyakit degeneratif”. Menurut UU nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut, batas umur seseorang dikatakan usia lanjut adalah ≥60 tahun (Nugroho, 1995).

Fungsi kognitif adalah kemampuan mental yang terdiri dari atensi, kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan membuat konsep dan intelegensi (Kaplan, 1997; American Psychology Assosiation, 2007). Kemampuan kognitif berubah secara bermakna bersamaan dengan lajunya proses penuaan, tetapi perubahan tersebut tidak seragam. Sekitar 50% dari seluruh populasi lansia menunjukkan penurunan kognitif sedangkan sisanya tetap memiliki kemampuan kognitif sama seperti usia muda. Penurunan kognitif tidak hanya terjadi pada individu yang mengalami penyakit yang berpengaruh terhadap proses penurunan kognitif tersebut, namun juga terjadi pada individu lansia yang sehat. Pada beberapa individu, proses penurunan fungsi kognitif tersebut dapat berlanjut sedemikian hingga terjadi gangguan kognitif atau demensia (Pramanta dkk., 2002).

Demensia merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang meliputi penurunan daya ingat atau memori, disertai penurunan kemampuan paling sedikit dua dari domain intelektual berikut yaitu orientasi, atensi, ketrampilan verbal, kemampuan visuospasial, kalkulasi, fungsi eksekutif, kontrol motorik, praksis, abstraksi dan judgement. Berdasar kriteria internasional untuk sindrom demensia, keseluruhan dari gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan fungsi independen dalam kehidupan sehari-hari (WHO, 1991 cit de Leeuw and van. Gijn, 2003).

Referensi :
1. Consatantinides, 2006. Teori proses menua, dalam: R. Boedhi-Darmojo (Penyunting), Geriatri, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Nugroho, 1995. Perawatan Usia Lanjut, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. WHO., 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic, Geneva.

Peranan Spesialis Saraf

Peranan Spesialis Saraf - Nyeri memang sebuah entitas yang sangat kompleks. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nyeri memberi dampak yang sangat luas, dan dibutuhkan penanganan multidisipliner. Timbul pertanyaan, sejauh mana peranan spesialis saraf ? Nyeri yang tidak tertangani dengan baik menyebabkan penderitaan, disabilitas, dan depresi. Seluruh dokter, termasuk spesialis saraf, mempunyai tugas etis untuk mengatasi nyeri dan penderitaan. Spesialis saraf harus melakukan evaluasi dan tatalaksana adekuat untuk pasien dengan nyeri kronik, secara personal, merujuk, atau dalam satu tim kerja.

Spesialis saraf mempunyai tanggung jawab terhadap pasien nyeri sehubungan dengan keahliannya dalam pemeriksaan neurologis dan interpretasinya, termasuk pemeriksaan penunjang spesifik, dan dasar terpenting adalah sistem saraf memegang peranan penting dalam persepsi dan mediasi nyeri. Spesialis saraf selayaknya mempunyai kemampuan untuk mengukur nyeri dan dampaknya pada pasien. Konsep lama yang menyatakan bahwa nyeri hanya bisa dirasakan atau dilaporkan oleh penderita (subjektif) hendaknya mulai ditinggalkan karena saat ini, demi penanganan nyeri yang adekuat, kita harus bisa menerjemahkan keluhan subjektif itu ke hal yang objektif, dapat diukur, dalam berbagai aspek, supaya kita mengerti apa yang harus kita lakukan, demi supaya pasien mendapatkan yang terbaik. Field mengungkapkan pentingnya assessment nyeri dengan ungkapan “if you don’t measure it, you can’t improve it”. (Yudiyanta & Meliala, 2008). Follow up neurologis sering memegang peranan penting dalam memonitor terapi. Spesialis saraf mempunyai keahlian dalam pemberian terapi farmaka yang cukup rumit, termasuk dalam kasus nyeri.

American Academy of Neurology (AAN) menyatakan bahwa sejumlah Spesialis Saraf di negara itu menghindar atau tidak bersedia mengobati pasien nyeri kronik sehubungan dengan tidak adekuatnya pelatihan/pendidikan dalam hal diagnostik, ketidaktahuan akan metode terapi nyeri dan pengukuran outcome, keterbatasan waktu, kurangnya dukungan multidisipliner, keterbatasan kompensasi, atau masalah medikolegal lainnya. Mempertimbangkan pentingnya penanganan nyeri, sejak 1997 AAN telah merekomendasikan bahwa Assessment nyeri yang baik, dan edukasi pasien termasuk dalam bidang penilaian akreditasi rumah sakit di Amerika. AAN merumuskan kewajiban etik seorang Spesialis Saraf dalam penanganan nyeri kronik non kanker (termasuk sefalgia, fibromialgia, neuropati, sindroma “failed back”, dan "Chronic Regional Pain Syndrome”) sebagai berikut (AAN, 2001):

1. Mempunyai pengetahuan adekuat tentang nyeri kronik dan kompeten dalam pendekatan manajemen efektif, termasuk terapi farmakologis, termasuk opioid, dan terapi lainnya.
2. Memastikan bahwa pasien nyeri kronik non kanker menjalani evaluasi diagnostik adekuat untuk masalah medik maupun psikologis
3. Mempertimbangkan riwayat pribadi pasien terkait masalah medis, dan sosial, dengan perhatian pada kondisi komorbid dan riwayat pengobatan yang mungkin memperberat penyakit atau risiko dari terapi tertentu
4. Mempertimbangkan metode analgesia alternatif
5. Memonitor efek samping dan efektivitas analgesia serta status kognitif dan psikologis pasien, dan waspada terhadap kemungkinan penyalahgunaan obat
6. Menyimpan catatan lengkap tentang indikasi terapi, peresepan, dan outcome terapeutik dalam setiap kunjungan pasien sambil tetap menjaga kerahasiaan pasien
7. Merujuk kepada ahli yang sesuai, atau program multidisipliner atau bentuk lain pelayanan kesehatan tersier untuk penangan lebih lanjut bila diperlukan.

Referensi :
1. American Academy of Neurology, 2001. Ethical consideration for neurologist in the management of chronic pain, Neurology; 57:2166-2177.
2. Yudiyanta, Meliala, L. 2008, Assessment Nyeri. Dalam: Meliala, L., Suryamiharja, A., Wirawan, R.B., Sadeli, H.A., Amir, D. (ed). Nyeri Neuropatik. Medikagama Press, Yogyakarta.

Perkembangan Konsep dan Terapi Nyeri Neuropatik di Masa Depan

Perkembangan Konsep dan Terapi Nyeri Neuropatik di Masa Depan - Menurut Scholz dan Woolf, 2007, konsep nyeri maladaptif berupa proses patologis tampaknya perlu ditinjau kembali. Konsep The Neuropathic Pain Triad menjelaskan bahwa neuron, sel imun dan mikroglia terlibat dalam nyeri neuropatik. Sel-sel imun di perifer dan sel glia di sentral menghasilkan proinflammatory cytokines (TNF, IL-1, IL-6) yang tampaknya sangat berperan dalam menimbulkan kepekaan neuron Terlibatnya sel imun dikarenakan terjadinya inflamasi pada proses degenerasi Wallerian dimana terjadi kerusakan Blood Nerve Barrier yang memungkinkan sel-sel imun dan produknya terlibat langsung dalam proses nyeri neuropatik. Proses ini tidak hanya menimbulkan nyeri, tetapi juga memicu regenerasi dan proses penyembuhan akson yang rusak. Konsep ini menerangkan bahwa nyeri merupakan efek dari serangkaian reaksi imun dan glial akibat kerusakan serabut saraf dalam upaya perbaikan.

Prinsip terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme di masa depan, selain mengurangi kepekaan neuron melalui pemberian antikonvulsan dan meningkatkan inhibisi dengan pemberian antidepresan dan opioid, akan berkembang sebagai berikut:
  • Immunosupressive drugs dan obat-obatan yang mempengaruhi fungsi glial
  • Injeksi kortikosteroid epidural dan intratekal mencegah dan mengobati post-herpetic neuralgia atau skiatika (efek jangka pendek)
  • Anti TNF-α mis: Etanercept
  • Obat-obatan yang ditujukan pada purinoseptor, cannabinoidd receptors, MAP kinases, dll.
  • Target terhadap MAP kinase mengingat keterlibatan p-38 JNK dan ERK dalam aktivasi mikroglia dan astrosit
  • Mengurangi pelepasan sitokin (Fluorocytrate, Propentophylline, Minocycline, Teriphlunomide) dan menghilangkan Pain-Responsive Behavior (masih dalam fase percobaan binatang)
Referensi :
1. Scholz, J., Woolf, C.J., 2007. The neuropathic pain triad: neurons, immune cells and glia, Nature Neuroscience; 10(11):1361-1368.

Prinsip Terapi Nyeri Neuropatik

Prinsip terapi nyeri neuropatik - Nyeri neuropatik merupakan akibat dari fungsi abnormal sistem saraf. Abnormalitas fungsi sistem saraf perifer, sentral, maupun simpatis dapat menyebabkan munculnya nyeri neuropatik. Kasus nyeri neuropatik (tanpa memandang kausa) menunjukkan mekanisme. Patofisiologi dan gambaran klinis yang hampir serupa. Nyeri neuropatik merupakan sindroma nyeri kronik yang sangat mempengaruhi segala aspek dari kehidupan pasien. Pada kondisi nyeri neuropatik, etiologi biasanya sudah berlalu, tetapi nyeri tetap mengganggu. Berdasarkan 2 fakta tersebut di atas, maka pengobatan terhadap fenomenologi dan mekanisme lebih penting daripada pengobatan etiologi (Meliala, 2004).

Prinsip terbaik untuk terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme dapat dilihat pada gambar di bawah.

Terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme
Terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme
(Beydoun, 2002; Meliala, 2004)

Dworkin et al, 2007 merekomendasikan langkah-langkah terapi farmakologis nyeri neuropatik seperti pada tabel berikut.

Langkah-langkah Terapi Farmakologis pada Nyeri Neuropatik

Pilihan terapi lini pertama dan lini kedua (Agonis Opioid)
Pilihan terapi lini pertama dan lini kedua (Agonis Opioid)
Tahap I
  • Nilai nyeri & tegakkan diagnosis.
  • Tetapkan & obati penyebab
  • Identifikasi kemungkinan eksaserbasi komorbid akibat pemberian terapi
  • Jelaskan diagnosa, rencana terapi & ekspektasi yang realistis.
Tahap II
  • Mulai terapi kausatif (jika memungkinkan)
  • Mulai terapi simtomatik, dengan 1 atau lebih terapi berikut:
  • TCA sekunder (nortriptilin, desipramin) atau SSNRI (duloksetin) /selektif serotonin norandrenaline reuptake inhibitor
  • Ca++ channel α2δ ligand (Gabapentin, Pregabalin)
  • lidokain topikal, dengan/tanpa terapi lini pertama lainnya untuk nyeri neuropatik perifer lokal
  • opioid atau tramadol, dengan/tanpa terapi lini pertama lain pada nyeri neuropatik akut, kanker, eksaserbasi episodik nyeri berat
  • Evaluasi kemungkinan terapi non-farmakologis
Tahap III
  • Nilai kembali nyeri dan kualitas hidup terkait nyeri secara frekuen
  • Jika perbaikan nyeri terjadi substansial (rerata penurunan nyeri ≤ 3/10) dan efek samping dapat ditolerir, teruskan terapi
  • Perbaikan nyeri parsial (rerata perbaikan nyeri ≥ 4/10) setelah pemberian satu jenis obat adekuat, tambahkan salah satu dari obat lini pertama (lihat tabel)
  • Jika tidak ada respon terapi setelah pemberian dosis adekuat, ganti dengan obat lini pertama alternatif
Tahap IV
  • Bila terapi lini pertama gagal, meski dengan kombinasi atau penambahan dengan obat alternatif, rujuk ke spesialis

Referensi :
1. Beydoun, A., Kutluay, E. 2002. Oxcarbazepin, Expert Opinion in Pharmacotherapy, 3(1):59-71
2. Dworkin, RHH., O’Connor, BB., Backonja, M., Farrar, JTT., Finnerup, NBB., Jensen, TSS., Kalso, EAA., Loeser, JDD., Miaskowski, C., Nurmikko, TJJ., Portenov, RKK., Rice, ASCS., Stacey, BRR., Trede, RDD., Turk, DCC., Wallace, MSS., 2007. Pharmacologic management of neuropathic pain: Evidence-based recommendations., PAIN; 132(3):237-51.
3. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.

Tipe Nyeri Neuropatik Adanya Stimulus

Tipe Nyeri Neuropatik Adanya Stimulus - Nyeri karena adanya stimulus (stimulus-evoked pain). Jenis nyeri ini dibagi atas 2 tipe, yaitu hiperalgesia (primer dan sekunder), dan alodinia. Hiperalgesia adalah respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri. Alodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri (Meliala, 2004).

Hiperalgesia dapat terjadi karena mekanisme perifer maupun sentral. Mekanisme perifer serabut saraf aferen memacu terjadinya remodelling dan hipereksitabilitas membran. Di bagian proksimal lesi, dalam waktu beberapa jam atau hari akan tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas tersebut sebagian akan mencapai organ target sebagian lagi tidak, dan membentuk neuroma.

Di tunas-tunas baru, neuroma, serabut saraf dari lesi ke badan sel, badan sel di ganglion radiks dorsalis berakumulasi saluran ion natrium dan saluran-saluran ion lainnya. Akumulasi saluran ion tersebut menyebabkan munculnya ectopic pacemaker (Meliala, 2004). Di samping saluran-saluran ion, juga muncul molekul-molekul transduser dan reseptor baru (modifikasi) yang secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya aktifitas ektopik (AE), abnormal mechanosensitivity, thermosensitivity, dan chemosensitivity (Devor dan Seltzer, 1999).

Referensi :
1. Devor, M., & Seltzer, Z. (1999). Pathophysiology of damaged nerves in relation to chronic pain. In P. Wall & . Melzack (Eds.), Textbook of pain (4th ed., pp. 129–164). Edinburgh: Churchill Livingstone.
2. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.

Tipe Nyeri Neuropatik - Nyeri Spontan

Tipe Nyeri Neuropatik - Nyeri Spontan. Nyeri spontan dapat bersifat kontinyu maupun paroksismal, dengan karakter yang bermacam-macam. Nyeri kontinu dapat menghentak, seperti kesetrum, seperti terbakar (burning) dan sebagainya. Nyeri paroksismal karakternya mungkin sama seperti tersebut di atas, namun perlangsungannya hanya beberapa detik. Mekanisme yang mendasari nyeri spontan terutama adalah munculnya aktivitas ektopik di serabut saraf C. Nyeri seperti terbakar atau disestesia dan parestesia disebabkan aktivitas ektopik di serabut Aδ. Penurunan inhibisi di kornu dorsalis disebabkan penurunan reseptor µ dan terjadi apoptosis, khususnya neuron-neuron inhibisi. Penurunan inhibisi sama artinya dengan eksitasi dan dapat menimbulkan nyeri spontan (Woolf, 1997; Dickenson, 1999).

Penderita nyeri neuropatik sering mengeluhkan nyeri spontan yang memberat bila penderita dalam keadaan stres fisik maupun emosional. Hal ini disebabkan pada lesi serabut saraf aferen sering terbentuk α-adrenoceptor di bagian proksimal dari lesi. Reseptor ini peka terhadap katekolamin yang dilepaskan terminal simpatis pasca ganglion. Di samping munculnya α-adrenoceptor diketahui pula bahwa serabut saraf simpatis pasca ganglion menambah cabang-cabangnya (sprouting) di sekeliling neuron ganglion spinalis, yang juga dapat mengaktivasi ganglion dan timbul rasa nyeri.

Skema Mekanisme Nyeri Neuropatik
Skema Mekanisme Nyeri Neuropatik
Keterangan Gambar Skema Mekanisme Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik terjadi dari cedera atau disfungsi saraf seperti berikut ini.

A. Setelah kerusakan saraf, transkripsi dan produksi saluran Natrium pada lokasi kerusakan meningkat, disertai dengan penurunan jumlah saluran kalium. Perubahan ekspresi saluran ion ini menyebabkan hipereksitabilitas dan terbentuknya aktivitas ektopik, yang diperkirakan berperan pada timbulnya nyeri spontan dan paroksismal.

B. Pada badan sel neuron aferen primer di ganglion radiks dorsalis, terjadi sprouting neuron simpatis dan diperkirakan berperan pada nyeri yang diperankan oleh system simpatis (sympathetically maintained pain)

C. Kerusakan saraf perifer menyebabkan perubahan besar pada transkripsi gen dan aktivasi berbagai kinase dan protein termasuk meningkatnya aktivitas reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). Kerusakan saraf juga menimbulkan hipertrofi dan aktivasi sel glia, termasuk mikroglia di substansia grisea medula spinalis. Mikroglia mengekspresikan reseptor purinergik P2X4 yang diaktivasi oleh ATP. Aktivasi ini akan menyebabkan pelepasan berbagai sitokin pronosiseptif seperti interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNFα) dan neurotropin, termasuk brain derived neurotrophic factor (BDNF) yang selanjutnya menyebabkan eksaserbasi transmisi nosiseptif dan berperan pada sensitisasi dan mempertahankan nyeri neuropatik.

Catatan: Aβ = neuron A beta, Aδ = neuron A delta, C = nosiseptor C, 5HT = serotonin, KCC2 = transporter klorida, NA = noradrenalin, Nav = saluran Natrium, NO = oksida nitrit, Kv = saluran kalium, PGs = prostaglandin, P2X4 = reseptor purinergik.

Referensi :
1. Dickenson, A.H, 1999. Balances Between Excitatory and Inhibitory Events in the Spinal Cord and Chronic Pain. In: Kumuzawa, T., Kruger, Mizumura, K., (eds) Progress in Brain Research Vol 113, Elsevier Amsterdam
2. Gilron, I., Watson, P.N., Cahill, C.M., Moulin, D.E. 2006. Neuropathic Pain: A Practical Guide to Clinician. CMAJ; 3:265-275.
3. Woolf, C.J., 1997. Molecular Signals Responsible for the Reorganization of the Synaptic Circuity of the Dorsal Horn After Peripheral Nerve Injury: The Mechanisms of Tactile Allodynia. In: Borsook, D., (ed) Molecular Neurobiology of Pain, Progress in Pain Research and Management. Vol.9. IASP Press, Seattle.

Proses Sentral dalam Mekanisme Nyeri Neuropatik: Sensitisasi dan Inhibisi

Proses sentral dalam mekanisme nyeri neuropatik: Sensitisasi dan Inhibisi - roses kunci yang mendasari sensitisasi sentral adalah hipereksitabilitas abnormal neuron nosiseptif sentral. Proses ini terjadi di medula spinalis karena cedera saraf perifer dan pelepasan tachynins dan neurotransmitter. Tachynins termasuk neuropeptida substansia P dan neurokinin. Neurotransmiter termasuk glutamat, Calcitonine Gene Related Peptide, dan GABA. Pelepasan glutamat yang prolonged akan berikatan dengan reseptor NMDA dan meningkatkan kadar kalsium intraseluler. Perubahan ini selanjutnya akan menyebabkan serangkaian proses biokimiawi di ganglion radiks dorsalis. Ambang aktivasi akan menurun, respon terhadap stimulus meningkat, dan luas receptive field bertambah (meluasnya area permukaan neuron untuk menerima stimulus). Secara bersama-sama perubahan ini menyebabkan sebuah fenomena yang dikenal dengan wind up, yaitu meningkatnya eksitabilitas dan sensitivitas neuron medula spinalis.

Mekanisme sentral lain yang diperkirakan berperan pada nyeri neuropatik adalah disinhibisi sentral, yang terjadi saat mekanisme kontrol sepanjang jalur modulasi/inhibisi hilang atau menurun. Selanjutnya juga akan menyebabkan eksitabilitas abnormal neuron sentral.

Secara klinis, sensitisasi dan disinhibisi sentral dipercaya menimbulkan alodinia, suatu keadaan dimana stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri (gesekan baju, rabaan halus) dipersepsi sebagai nyeri, misalnya pada neuralgia postherpetik. Dalam keadaan normal serabut Aβ menhasilkan sensasi sentuhan bila distimulasi. Serabut saraf ini dapat menimbulkan sensasi nyeri bila distimulasi pada individu dengan nyeri neuropatik. Beberapa teori telah berupaya menjelaskan fenomena alodinia yaitu penurunan ambang rangsang sensorik di neuron sentral, dan penurunan inhibisi sentral terhadap input nosiseptif. Abnormalitas organisasi neuronal juga dapat terjadi. Contohnya setelah kerusakan saraf tepi, mekanoseptor mengalami sprouting dari lamina yang lebih dalam ke lamina I dan II kornu dorsalis medula spinalis. Hal ini potensial meningkatkan sensitivitas terhadap sentuhan/tekanan (alodinia mekanis).

Hiperalgesia merupakan gambaran yang lazim ditemukan pada nyeri. Terdapat dua tipe hiperalgesia, yaitu primer dan sekunder. Hiperalgesia primer adalah peningkatan nyeri dan sensitivitas di area yang mengalami kerusakan, dan hiperalgesia sekunder adalah peningkatan sensitivitas di area sekitar kerusakan. Hiperalgesia primer diperkirakan terjadi sebagai akibat dari perubahan perifer setelah kerusakan jaringan. Hiperalgesia sekunder diperkirakan terjadi akibat perubahan di kornu dorsalis medula spinalis (Pasero, 2004).

Di samping sensitisasi sentral mekanisme lain yang mendasari NN di SNS adalah disinhibisi. Penurunan inhibisi berarti eksitasi. Impuls perifer yang datang di kornu dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut sebelum diteruskan ke otak selalu dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental atau serabut saraf desendens yang bersifat inhibisi. Pada tingkat medula spinalis proses ini diperantarai oleh neuron inhibisi yang melepaskan GABA dan glisin. Input desenden dari batang otak bekerja melalui norepinefrin/noradrenalin dan serotonin. Percobaan eksperimental memperlihatkan bahwa blokade reseptor GABA dan glisin akan menghasilkan hipersensitivitas nyeri (Woolf, 2004; Meliala, 2004).

Disinhibisi terutama terjadi karena kematian interneuron GABA setelah cedera saraf. Pada nyeri kronik khususnya nyeri neuropatik terlihat adanya penurunan aktivitas inhibisi yang berarti eksitasi. Keadaan ini akan menyebabkan alodinia (Meliala, 2004). Penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa 1 minggu setelah cedera akan terjadi apoptosis neuron di kornu dorsalis. Proses apoptosis dapat terjadi karena eksitasi berlebih akibat pelepasan glutamat atau kegagalan ambilan kembali glutamat, dapat pula terjadi sebagai bentuk sinyal bunuh diri akibat pelepasan tumor necrosis factor α dari mikroglia (Woolf, 2004).

Reorganisasi sentral
Alodinia terjadi oleh karena: (1) sensitisasi sentral atau wind-up, (2) reorganisasi sentral dari serabut Aβ, dan (3) hilangnya kontrol inhibisi. Reorganisasi sentral serabut Aβ terjadi akibat kematian serabut saraf C (misalnya akibat herpes zoster). Serabut saraf C biasanya bersinaps di lamina I dan II kornu dorsalis. Kehilangan serabut saraf C di lamina I dan II memicu sprouting Aβ dan menuju lamina tersebut untuk mengisi kekosongan sinap (neuronal plasticity). Dengan demikian impuls sentuhan ringan yang dibawa serabut Aβ masuk ke lamina I dan II kornu dorsalis akan diterjemahkan dengan nyeri (Meliala, 2004).

Referensi :
1. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
2. Pasero, C., 2004. Pathophysiology of neuropathic pain, Pain Management Nursing; 5(4):3-8.
3. Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management, Ann Intern Med; 140:441-451.

Mekanisme Sensitisasi Perifer

Mekanisme sensitisasi perifer - Setelah terjadinya cedera saraf tepi, dilepaskanlah beberapa mediator kimiawi dari sel yang mengalami kerusakan dan sel-sel inflamatorik (sel mast, dan limfosit). Mediator kimiawi yang dimaksud diantaranya noradrenalin, bradikinin, histamin, prostaglandin, kalium, sitokin, 5HT, dan neuropeptida. Mediator-mediator ini akan mensensitisasi nosiseptor dan selanjutnya menambah input neural. Hal ini menyebabkan perubahan pada jumlah dan lokasi saluran ion, terutama saluran ion natrium pada serabut saraf yang rusak bersamaan dengan ganglion radiks dorsalis. Sebagai hasil, ambang depolarisasi akan menurun dan discharge spontan yang dikenal juga sebagai ectopic discharge akan terjadi. Akibatnya respons nosiseptor terhadap stimulus termal dan mekanikan akan meningkat, sebuah fenomena yang dikenal dengan sensitisasi perifer. Pada beberapa proses penyakit tertentu seperti demielinisasi akibat berkurangnya suplai darah ke saraf tepi dapat pula mengakibatkan ectopic discharge.

Pada kondisi normal, serabut saraf yang satu terpisah dengan serabut yang lain. Tetapi, aktivitas neural persisten dan perubahan yang terjadi akibat kerusakan dapat menimbulkan hubungan elektrikal yang dimediasi mediator kimiawi antar serabut saraf. Transmisi ini, dikenal sebagai ephaptic conduction/cross excitation/cross talk, akan menyebabkan bangkitan nyeri dari serabut saraf normal dan menimbulkan nyeri Hiperalgesia (meningkatnya sensasi nyeri pada stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri) sering terlihat pada pasien dengan nyeri. Diperkirakan proses sensitisasi perifer, yang dimediasi oleh serabut C bertanggung jawab pada mekanisme terjadinya hiperalgesia. Terkadang bermanifestasi sebagai nyeri spontan. Sensasi nyeri seperti terbakar (burning sensation) merupakan akibat dari discharge kontinu serabut C, sementara disestesia (perasaan tak nyaman abnormal) dan parestesia dapat terjadi akibat discharge spontan serabut Aδ atau Aβ.

Mekanisme perifer lainnya adalah symphatetic sensory coupling, suatu kondisi dimana nyeri neuropatik berkaitan dengan sistem saraf simpatis (misalnya pada Complex Regional Pain Syndrome). Hal ini sering juga disebut Symphatetic Maintained Pain. Koneksi abnormal sistem saraf simpatis dengan sistem saraf sensorik diperkirakan melatarbelakangi kondisi ini (Pasero, 2004).

Dalam mekanisme sensitisasi perifer proses yang paling berperan adalah aktivitas ektopik (AE). Terdapat dua tempat munculnya AE yaitu:
1. Neuroma atau serabut saraf yang mengalami lesi misalnya akibat kompresi
2. Neuron di gangglion radiks dorsalis dari serabut saraf yang mengalami lesi

AE menimbulkan NN melalui:
1. Aliran impuls yang abnormal ke sistem saraf pusat (SSP) yang langsung dapat menimbulkan gejala parestesia, disestesia dan nyeri misalnya:
a. Aktivitas yang dijalankan melalui serabut saraf C menimbulkan timbulnya persepsi panas (burning pain).
b. Aktivitas spontan yang intermitten di serabut Aδ atau Aβ menyebabkan nyeri seperti ditikan (lancinating) disestesia atau parestesia.

2. Adanya saluran-saluran baru di daerah lesi (neuroma, lokasi lesi, ganglion radiks dorsalis) menyebabkan timbulnya reseptor-reseptor yang sensitif terhadap impuls mekanikal, termal atau kemikal. Kumpulan reseptor ektopik ini menyebabkan terjadinya hiperalgesia, misalnya ketukan ringan di lokasi ektopik dapat menimbulkan nyeri seperti pada sindroma terowongan karpal (tanda Tinel). Stres menyebabkan nyeri memberat karena katekolamin yang mengaktivasi reseptor adrenergik.

3. AE menyebabkan sensitisasi sentral sebagai penyebab utama hiperalgesia dan alodinia.

Referensi :
1. Pasero, C., 2004. Pathophysiology of neuropathic pain, Pain Management Nursing; 5(4):3-8.