Proses sentral dalam mekanisme nyeri neuropatik: Sensitisasi dan Inhibisi - roses kunci yang mendasari sensitisasi sentral adalah hipereksitabilitas abnormal neuron nosiseptif sentral. Proses ini terjadi di medula spinalis karena cedera saraf perifer dan pelepasan tachynins dan neurotransmitter. Tachynins termasuk neuropeptida substansia P dan neurokinin. Neurotransmiter termasuk glutamat, Calcitonine Gene Related Peptide, dan GABA. Pelepasan glutamat yang prolonged akan berikatan dengan reseptor NMDA dan meningkatkan kadar kalsium intraseluler. Perubahan ini selanjutnya akan menyebabkan serangkaian proses biokimiawi di ganglion radiks dorsalis. Ambang aktivasi akan menurun, respon terhadap stimulus meningkat, dan luas receptive field bertambah (meluasnya area permukaan neuron untuk menerima stimulus). Secara bersama-sama perubahan ini menyebabkan sebuah fenomena yang dikenal dengan wind up, yaitu meningkatnya eksitabilitas dan sensitivitas neuron medula spinalis.
Mekanisme sentral lain yang diperkirakan berperan pada nyeri neuropatik adalah disinhibisi sentral, yang terjadi saat mekanisme kontrol sepanjang jalur modulasi/inhibisi hilang atau menurun. Selanjutnya juga akan menyebabkan eksitabilitas abnormal neuron sentral.
Secara klinis, sensitisasi dan disinhibisi sentral dipercaya menimbulkan alodinia, suatu keadaan dimana stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri (gesekan baju, rabaan halus) dipersepsi sebagai nyeri, misalnya pada neuralgia postherpetik. Dalam keadaan normal serabut Aβ menhasilkan sensasi sentuhan bila distimulasi. Serabut saraf ini dapat menimbulkan sensasi nyeri bila distimulasi pada individu dengan nyeri neuropatik. Beberapa teori telah berupaya menjelaskan fenomena alodinia yaitu penurunan ambang rangsang sensorik di neuron sentral, dan penurunan inhibisi sentral terhadap input nosiseptif. Abnormalitas organisasi neuronal juga dapat terjadi. Contohnya setelah kerusakan saraf tepi, mekanoseptor mengalami sprouting dari lamina yang lebih dalam ke lamina I dan II kornu dorsalis medula spinalis. Hal ini potensial meningkatkan sensitivitas terhadap sentuhan/tekanan (alodinia mekanis).
Hiperalgesia merupakan gambaran yang lazim ditemukan pada nyeri. Terdapat dua tipe hiperalgesia, yaitu primer dan sekunder. Hiperalgesia primer adalah peningkatan nyeri dan sensitivitas di area yang mengalami kerusakan, dan hiperalgesia sekunder adalah peningkatan sensitivitas di area sekitar kerusakan. Hiperalgesia primer diperkirakan terjadi sebagai akibat dari perubahan perifer setelah kerusakan jaringan. Hiperalgesia sekunder diperkirakan terjadi akibat perubahan di kornu dorsalis medula spinalis (Pasero, 2004).
Di samping sensitisasi sentral mekanisme lain yang mendasari NN di SNS adalah disinhibisi. Penurunan inhibisi berarti eksitasi. Impuls perifer yang datang di kornu dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut sebelum diteruskan ke otak selalu dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental atau serabut saraf desendens yang bersifat inhibisi. Pada tingkat medula spinalis proses ini diperantarai oleh neuron inhibisi yang melepaskan GABA dan glisin. Input desenden dari batang otak bekerja melalui norepinefrin/noradrenalin dan serotonin. Percobaan eksperimental memperlihatkan bahwa blokade reseptor GABA dan glisin akan menghasilkan hipersensitivitas nyeri (Woolf, 2004; Meliala, 2004).
Disinhibisi terutama terjadi karena kematian interneuron GABA setelah cedera saraf. Pada nyeri kronik khususnya nyeri neuropatik terlihat adanya penurunan aktivitas inhibisi yang berarti eksitasi. Keadaan ini akan menyebabkan alodinia (Meliala, 2004). Penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa 1 minggu setelah cedera akan terjadi apoptosis neuron di kornu dorsalis. Proses apoptosis dapat terjadi karena eksitasi berlebih akibat pelepasan glutamat atau kegagalan ambilan kembali glutamat, dapat pula terjadi sebagai bentuk sinyal bunuh diri akibat pelepasan tumor necrosis factor α dari mikroglia (Woolf, 2004).
Reorganisasi sentral
Alodinia terjadi oleh karena: (1) sensitisasi sentral atau wind-up, (2) reorganisasi sentral dari serabut Aβ, dan (3) hilangnya kontrol inhibisi. Reorganisasi sentral serabut Aβ terjadi akibat kematian serabut saraf C (misalnya akibat herpes zoster). Serabut saraf C biasanya bersinaps di lamina I dan II kornu dorsalis. Kehilangan serabut saraf C di lamina I dan II memicu sprouting Aβ dan menuju lamina tersebut untuk mengisi kekosongan sinap (neuronal plasticity). Dengan demikian impuls sentuhan ringan yang dibawa serabut Aβ masuk ke lamina I dan II kornu dorsalis akan diterjemahkan dengan nyeri (Meliala, 2004).
Referensi :
1. Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta.
2. Pasero, C., 2004. Pathophysiology of neuropathic pain, Pain Management Nursing; 5(4):3-8.
3. Woolf, C. J., 2004: Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management, Ann Intern Med; 140:441-451.
No comments:
Post a Comment