Aspek Imunologi Obesitas - Ciri khas obesitas ditunjukkan dengan adanya peningkatan massa jaringan lemak atau adiposa. Diduga bahwa sekresi hormon atau zat aktif lain seperti sitokin oleh jaringan adiposa menyebabkan berbagai kelainan metabolisme seperti terganggunya sensitivitas insulin, kelainan metabolisme lemak dan fungsi-fungsi sel pada sistem kekebalan tubuh (imunitas) seperti reaksi inflamasi Noviyanti, 2004).
Sel-sel lemak merupakan tempat sekresi sitokin yang berperan dalam proses inflamasi (proinflammatory cytokines). Pada obesitas dapat terjadi inflamasi kronik akibat peningkatan kadar sitokin yang dikeluarkan oleh jaringan lemak serta aktivasi molekul-molekul signaling yang berperan pada proses inflamasi.
Pengetahuan mengenai mekanisme sistem imun pada obesitas masih relatif baru. Penelitian yang bertujuan untuk melihat adanya pengaruh sistem imun pada obesitas banyak memanfaatkan hewan percobaan. Pada manusia, pengukuran kadar komponen sistem imun seperti sitokin pada darah, sistem saraf pusat, berbagai jaringan otot rangka, jaringan endotel maupun sel hati dijadikan parameter untuk melihat adanya peranan molekul tersebut pada individu dengan obesitas. Beberapa zat aktif seperti hormon dan sitokin telah dibuktikan berhubungan dengan obesitas antara lain tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-6, IL-8, IL-10, leptin dan adiponektin.
IL-6 merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang disekresi monosit, makrofag dan jaringan adiposa. Pada manusia, IL-6 dapat memacu reaksi inflamasi. Peningkatan kadar IL-6 berhubungan dengan resistensi insulin pada penderita obesitas dan diabetes tipe-2. IL-6 dapat menginduksi produksi TNF- α pada reaksi in vitro yang diperantarai oleh TNF-α-induced adipose related protein. TNF- α merupakan komponen sitokin yang berperan dalam proses imunomodulator dan respon inflamasi. Peningkatan kadar TNF-α dijumpai pada hewan coba dan manusia yang menunjukkan tanda obesitas (Noviyanti, 2004).
IL-8 merupakan sitokin proinflamatori yang disekresi oleh jaringan adiposa. Peran IL-8 pada obesitas belum jelas. Suatu penelitian menemukan adanya hubungan peningkatan kadar IL-8 serum dengan patogenesis aterosklerosis pada obesitas. Kadar IL-8 serum ditemukan meningkat sejalan dengan peningkatan jaringan adiposa dan TNF-α pada individu dengan obesitas (Straczkowski et al., 2002 cit Noviyanti, 2004). Namun demikian, penelitian lain tidak menemukan adanya hubungan antara peningkatan kadar IL-8 serum dengan peningkatan berat badan (Bruun et al., 2002 cit Noviyanti, 2004).
IL-10 merupakan sitokin anti-inflamatori yang disekresi oleh jaringan adiposa. IL-10 mampu menghambat aktivasi TNF-α seperti yang ditunjukkan pada penelitian yang mengguanakan sel-sel monosit manusia (Schottelius et al., 1999 cit Noviyanti, 2004).
Leptin merupakan hormon yang dihasilkan oleh jaringan lemak yang berfungsi mengatur metabolisme untuk keseimbangan energi dan berat badan. Secara umum leptin berperan dalam menghambat rasa lapar dan meningkatkan metabolisme energi. Pada suatu individu, jaringan lemak yang berukuran besar mengandung lebih banyak leptin dibandingkan dengan jaringan lemak yang lebih kecil. Pada individu dengan obesitas, dijumpai adanya resistensi leptin dimana terjadi gangguan transportasi leptin pada otak. Hipotalamus pada individu dengan obesitas menjadi kekurangan leptin akibat terganggunya transportasi leptin dari darah menuju jaringan otak (Caro et al., 1996).
Adiponektin adalah protein spesifik jaringan adiposa yang terdapat pada sistem sirkulasi. Regulasi adiponektin dipengarui oleh sekresi sitokin antara lain TNF-α. Hubungan penurunan kadar adiponektin serum dengan obesitas dibuktikan pada penelitian yang menggunakan hewan coba mencit yang gen adiponektinnya telah di non aktifkan sehingga kemempuan untuk menghilangkan asam lemak bebas dalam plasma menurun. Tingginya kadar asam lemak bebas dalam plasma merupakan faktor utama penyebab aterosklerosis. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara obesitas, aterosklerosis dan kadar adiponektin (Kern et al., 2003).
Referemsi :
Showing posts with label Gangguan Kognitif. Show all posts
Showing posts with label Gangguan Kognitif. Show all posts
Pengaruh Obesitas Terhadap Fungsi Kognitif
Pengaruh Obesitas Terhadap Fungsi Kognitif - Penelitian Withmer et al., (2005) menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya gangguan kognitif atau demensia pada individu yang mengalami obesitas. Hubungan tersebut diduga terjadi melalui penyakit kardiovaskular dan diabetes, dimana kedua penyakit tersebut terbukti meningkatkan risiko terjadinya demensia. Sementara obesitas dan overweigt terbukti merupakan faktor risiko independen penyakit kardiovaskular pada penelitian FHS dengan memperhitungkan faktor-faktor risiko kardiovakular lainnya seperti hipertensi, diabetes, hiperkholesterol, dan merokok. Obesitas juga merupakan faktor risiko independen penyakit-penyakit metabolik atherogenik seperti diabetes melitus dan dislipidemia (Purnomo, 2004; Tataranni & Bogardus, 2005; Elias et al., 2005).
Namun demikian, perubahan metabolisme glukosa dan faktor risiko vaskular lain tersebut tidak sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara penurunan kognitif dan perubahan perubahan struktur otak dengan obesitas. Hal ini menjadi suatu pemikiran karena pada analisa multivariat model regresi, diabetes dan faktor-faktor vaskular lain tidak berpengaruh terhadap nilai hubungan antara obesitas dengan penurunan kognitif dan perubahan struktur otak tersebut (Elias, 2005; Withmer et al., 2005).
Hingga saat ini terdapat beberapa mekanisme yang diduga memediasi hubungan antara obesitas dan kejadian penurunan kognitif. Obesitas diduga memiliki pengaruh langsung terhadap degradasi neuronal, salah satunya melalui mekanisme inflamasi oleh sitokin-sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh jaringan adiposa seperti interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF α). Defisiensi reseptor leptin yang terjadi pada binatang coba rodensia (tikus) terbukti menyebabkan terjadinya gangguan memori spasial dan gangguan long term potentiation neuron-neuron di hipokampus. Pada individu dengan massa lemak tubuh yang tinggi berhubungan dengan kejadian gangguan kognitif dan demensia juga ditemukan peningkatan C reactive protein (CRP) (Yaffe et al., 2004; Elias et al., 2005; Withmer et al., 2005).
Referensi :
1. Elias, M.F., Elias, P.K., Sullivan, L.M., Wolf, P.A., D’Agostino, R.B., 2003. Lower cognitive function in the presence of obesity and hypertension: the Framingham heart study, International Journal of Obesity, 27,260-268.
2. Purnomo, L.P., 2004. Burdens of obesity on health, dalam: Djokomoeljanto, Darmono, T. Suhartono (penyunting), Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan V Endokrinologi, PERKENI, Semarang.
3. Tataranni, P.A., & Bogardus, C., 2005. Obesity and diabetes mellitus, in: S.E. Inzucchi (editor), The Diabetes Mellitus Manual, sixth edition, Mc.Graw Hill Comp.
4. Whitmer, R.A., Gunderson, E.P.,Barrett-Connor, E.,Quesenberry Jr, CP., Yaffe, K., 2005. Obesity in middle age and future risk of dementia: a 27 year longitudinal population based study. British Medical Journal, vol. 330, 1360-1364.
5. Yaffe, K., Kanaya, A., Lindquist, K., Simonsick, E.M., Harris, T., Shorr, R.I., Tylavsky, F.A., Newman, A.B., 2004. The metabolic syndrome, inflammation and risk of cognitive decline, JAMA, vol. 292, 18, 2237-42.
Namun demikian, perubahan metabolisme glukosa dan faktor risiko vaskular lain tersebut tidak sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara penurunan kognitif dan perubahan perubahan struktur otak dengan obesitas. Hal ini menjadi suatu pemikiran karena pada analisa multivariat model regresi, diabetes dan faktor-faktor vaskular lain tidak berpengaruh terhadap nilai hubungan antara obesitas dengan penurunan kognitif dan perubahan struktur otak tersebut (Elias, 2005; Withmer et al., 2005).
Hingga saat ini terdapat beberapa mekanisme yang diduga memediasi hubungan antara obesitas dan kejadian penurunan kognitif. Obesitas diduga memiliki pengaruh langsung terhadap degradasi neuronal, salah satunya melalui mekanisme inflamasi oleh sitokin-sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh jaringan adiposa seperti interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF α). Defisiensi reseptor leptin yang terjadi pada binatang coba rodensia (tikus) terbukti menyebabkan terjadinya gangguan memori spasial dan gangguan long term potentiation neuron-neuron di hipokampus. Pada individu dengan massa lemak tubuh yang tinggi berhubungan dengan kejadian gangguan kognitif dan demensia juga ditemukan peningkatan C reactive protein (CRP) (Yaffe et al., 2004; Elias et al., 2005; Withmer et al., 2005).
Referensi :
1. Elias, M.F., Elias, P.K., Sullivan, L.M., Wolf, P.A., D’Agostino, R.B., 2003. Lower cognitive function in the presence of obesity and hypertension: the Framingham heart study, International Journal of Obesity, 27,260-268.
2. Purnomo, L.P., 2004. Burdens of obesity on health, dalam: Djokomoeljanto, Darmono, T. Suhartono (penyunting), Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan V Endokrinologi, PERKENI, Semarang.
3. Tataranni, P.A., & Bogardus, C., 2005. Obesity and diabetes mellitus, in: S.E. Inzucchi (editor), The Diabetes Mellitus Manual, sixth edition, Mc.Graw Hill Comp.
4. Whitmer, R.A., Gunderson, E.P.,Barrett-Connor, E.,Quesenberry Jr, CP., Yaffe, K., 2005. Obesity in middle age and future risk of dementia: a 27 year longitudinal population based study. British Medical Journal, vol. 330, 1360-1364.
5. Yaffe, K., Kanaya, A., Lindquist, K., Simonsick, E.M., Harris, T., Shorr, R.I., Tylavsky, F.A., Newman, A.B., 2004. The metabolic syndrome, inflammation and risk of cognitive decline, JAMA, vol. 292, 18, 2237-42.
Definisi dan Kriteria Obesitas
Definisi dan Kriteria Obesitas - Obesitas didefinisikan sebagai kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam bentuk jaringan adiposa sehingga mengganggu kesehatan (Garrow, 1988). Obesitas atau kegemukan terjadi karena konsumsi makanan yang melebihi kebutuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) perhari. Bila kelebihan ini terjadi dalam jangka waktu lama dan tidak diimbangi dengan aktivitas yang cukup untuk membakar kelebihan energi, lambat laun kelebihan energi tersebut akan diubah menjadi lemak dan ditimbun sebagai jaringan lemak dibawah kulit sehingga orang tersebut akan menjadi gemuk (Azwar, 2004).
Pada awalnya, proses penimbunan kelebihan energi tersebut ditandai dengan peningkatan berat badan. Apabila penimbunan semakin banyak maka akan terjadi perubahan anatomis. Penumpukan jaringan lemak pada perempuan biasanya dimulai di sekitar pinggul, paha, lengan atas, pinggang dan perut, baru kemudian meluas ke seluruh tubuh hingga wajah. Penumpukan jaringan lemak pada laki-laki umumnya terjadi di bagian perut (Azwar, 2004).
Kriteria Obesitas
Antropometri merupakan salah satu cara yang mudah, non-invasif, cepat dan reliable dalam menilai secara objektif informasi tentang status gizi seseorang. Antropometri banyak digunakan dalam penelitian-penelitian yang mencakup penilaian status gizi karena memiliki beberapa keunggulan seperti alatnya yang mudah didapat dan digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang dengan mudah dan objektif, pemeriksaan dapat dilakukan tenaga terlatih dan tidak harus profesional khusus, serta hasil yang mudah disimpulkan karena memiliki ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti (Supariasa dkk., 2001).
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indeks yang paling banyak digunakan dalam menilai status gizi secara antropometri. Hal ini dikarenakan pengukuran komponen IMT yaitu berat dan tinggi badan cepat, mudah dan sederhana (Purba, 2004). Massa jaringan bebas lemak (fat-free mass) khususnya otot menurun secara progresif sejalan dengan pertambahan usia. Oleh karena itu, IMT pada lansia kurang dapat menggambarkan massa lemak tubuh karena tidak membedakan pengukuran massa lemak dan massa bebas lemak, atau distribusi lemak tubuh (Price et al., 2006).
Pengukuran massa lemak berdasarkan rasio lingkar pinggang-lingkar panggul (waist-hip ratio = WHR) merupakan indeks antropometri untuk memperkirakan distribusi lemak tubuh seperti yang dianjurkan oleh WHO Expert Comittee in Antropometry. WHR merefleksikan suatu kegemukan abdominal atau viceral atau yang dikenal juga sebagai obesitas sentral (Purba, 2004). Kriteria obesitas sentral menurut WHO (2000) dalam Gibson (2005) adalah > 1,00 untuk individu laki-laki dan > 0,85 untuk perempuan.
Penggunaan WHR meningkat secara dramatis dengan adanya bukti bahwa obesitas sentral tanpa kriteria obesitas lainnya merupakan merupakan suatu faktor risiko yang penting dalam kejadian beberapa penyakit. Beberapa penelitian kohort prospektif membuktikan bahwa baik pada perempuan maupun pria, peningkatan WHR berhubungan erat dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit jantung koroner, stroke dan diabetes melitus (Gibson, 2005). Penelitian Jagust et al., (2005) juga membuktikan bahwa peningkatan nilai WHR memiliki relasi negatif dengan volume hipokampus, dan relasi positif dengan peningkatan hiperintensitas pada MRI otak individu lansia.
Referensi :
1. Azwar, A., 2004. Tubuh sehat ideal, Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Jakarta.
2. Gibson, R.S., 2005. Principles of Nutritional Assesment, 2nd edition, Oxford University Press, New York.
3. Price, G.M., Uauy, R., Breeze, E., Bulpitt, C.J., Fletcher, A.E., 2006. Weight, shape and mortality risk in older persons: elevated waist-hip ratio, high body mass index, is associated with a greater risk of death. American J Clin Nutrition, 84, 449.
4. Purba, M., 2004. Pengkajian Nutrisi pada Usia Lanjut. Kumpulan Makalah Kongres Nasional (KONAS) III/ Temu Ilmiah Nasional II, Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), Yogyakarta.
5. Supariasa, ID.N., Bakri, B., Fajar, I., 2001. Penilaian Status Gizi, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
6. WHO., 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic, Geneva.
Pada awalnya, proses penimbunan kelebihan energi tersebut ditandai dengan peningkatan berat badan. Apabila penimbunan semakin banyak maka akan terjadi perubahan anatomis. Penumpukan jaringan lemak pada perempuan biasanya dimulai di sekitar pinggul, paha, lengan atas, pinggang dan perut, baru kemudian meluas ke seluruh tubuh hingga wajah. Penumpukan jaringan lemak pada laki-laki umumnya terjadi di bagian perut (Azwar, 2004).
Kriteria Obesitas
Antropometri merupakan salah satu cara yang mudah, non-invasif, cepat dan reliable dalam menilai secara objektif informasi tentang status gizi seseorang. Antropometri banyak digunakan dalam penelitian-penelitian yang mencakup penilaian status gizi karena memiliki beberapa keunggulan seperti alatnya yang mudah didapat dan digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang dengan mudah dan objektif, pemeriksaan dapat dilakukan tenaga terlatih dan tidak harus profesional khusus, serta hasil yang mudah disimpulkan karena memiliki ambang batas dan baku rujukan yang sudah pasti (Supariasa dkk., 2001).
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indeks yang paling banyak digunakan dalam menilai status gizi secara antropometri. Hal ini dikarenakan pengukuran komponen IMT yaitu berat dan tinggi badan cepat, mudah dan sederhana (Purba, 2004). Massa jaringan bebas lemak (fat-free mass) khususnya otot menurun secara progresif sejalan dengan pertambahan usia. Oleh karena itu, IMT pada lansia kurang dapat menggambarkan massa lemak tubuh karena tidak membedakan pengukuran massa lemak dan massa bebas lemak, atau distribusi lemak tubuh (Price et al., 2006).
Pengukuran massa lemak berdasarkan rasio lingkar pinggang-lingkar panggul (waist-hip ratio = WHR) merupakan indeks antropometri untuk memperkirakan distribusi lemak tubuh seperti yang dianjurkan oleh WHO Expert Comittee in Antropometry. WHR merefleksikan suatu kegemukan abdominal atau viceral atau yang dikenal juga sebagai obesitas sentral (Purba, 2004). Kriteria obesitas sentral menurut WHO (2000) dalam Gibson (2005) adalah > 1,00 untuk individu laki-laki dan > 0,85 untuk perempuan.
Penggunaan WHR meningkat secara dramatis dengan adanya bukti bahwa obesitas sentral tanpa kriteria obesitas lainnya merupakan merupakan suatu faktor risiko yang penting dalam kejadian beberapa penyakit. Beberapa penelitian kohort prospektif membuktikan bahwa baik pada perempuan maupun pria, peningkatan WHR berhubungan erat dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit jantung koroner, stroke dan diabetes melitus (Gibson, 2005). Penelitian Jagust et al., (2005) juga membuktikan bahwa peningkatan nilai WHR memiliki relasi negatif dengan volume hipokampus, dan relasi positif dengan peningkatan hiperintensitas pada MRI otak individu lansia.
Referensi :
1. Azwar, A., 2004. Tubuh sehat ideal, Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Jakarta.
2. Gibson, R.S., 2005. Principles of Nutritional Assesment, 2nd edition, Oxford University Press, New York.
3. Price, G.M., Uauy, R., Breeze, E., Bulpitt, C.J., Fletcher, A.E., 2006. Weight, shape and mortality risk in older persons: elevated waist-hip ratio, high body mass index, is associated with a greater risk of death. American J Clin Nutrition, 84, 449.
4. Purba, M., 2004. Pengkajian Nutrisi pada Usia Lanjut. Kumpulan Makalah Kongres Nasional (KONAS) III/ Temu Ilmiah Nasional II, Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), Yogyakarta.
5. Supariasa, ID.N., Bakri, B., Fajar, I., 2001. Penilaian Status Gizi, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
6. WHO., 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic, Geneva.
Klasifikasi dan Faktor Risiko Gangguan Kognitif
Klasifikasi dan Faktor Risiko Gangguan Kognitif - Proses menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, yang terjadi secara perlahan-lahan. sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constatinides, 2006)
Klasifikasi Gangguan Kognitif
Gangguan kognitif meliputi seluruh keadaan prodormal demensia dan demensia. Gangguan kognitif ringan atau mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu keadaan prodormal demensia yang dapat bersifat menetap (stable) maupun reversibel. Kriteria MCI yaitu terdapat keluhan gangguan memori secara subjektif, gangguan tersebut terbukti secara tes memori (misalnya dengan penilaian MMSE), penampilan kognitif secara global normal, aktifitas hidup sehari-hari masih normal dan belum termasuk kriteria demensia (Soetedjo, 2006).
Klasifikasi demensia menurut PPDGJ-III (1993) / ICD-X (1992) membagi demensia menjadi: (1)F00 Demensia pada penyakit Alzheimer, (2)F01 Demensia vaskuler, (3)F02 Demensia pada penyakit lain yang diketahui, (4)F03 Demensia yang tidak tergolongkan .
Faktor Risiko Gangguan Kognitif
Faktor-faktor risiko gangguan kognitif secara umum dan demensia alzeimer meliputi: (1) yang tidak dapat dikendalikan yaitu usia tua, genetik, jenis kelamin perempuan, gangguan intelektual; (2) yang dapat dikendalikan yaitu hipertensi, diabetes melitus, hiperkholesterol, obesitas, depresi, konsumsi alkohol berlebih; dan (3) faktor risiko lainnya yaitu trauma kepala, infeksi dan tumor intrakranial (National Colaborating Centre for Mental Heatlh, 2007).
Beberapa faktor risiko demensia vaskuler overlap dengan faktor risiko demensia alzeimer. Faktor-faktor risiko tersebut dibagi menjadi 4 golongan yaitu (1)faktor demografi yang meliputi umur tua, ras/etnis (Asia), jenis kelamin (laki-laki), pendidikan rendah dan daerah rural, (2) faktor atherogenik meliputi hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, (3) faktor non atherogenik meliputi genetik, gangguan perdarahan, komsumsi tinggi alkohol, tumor serebral, trauma kepala, infeksi intraserebral dan (4)faktor yang berhubungan stroke meliputi pengurangan volume jaringan otak, lokasi dan jumlah infark (Hebert et al., 2000; Sanusi, 2003).
Referensi :
1. Consatantinides, 2006. Teori proses menua, dalam: R. Boedhi-Darmojo (Penyunting), Geriatri, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Hebert, R., Lindsay, J., Verreault, R., Rockwood, K., Hill, G., Dubois, M. F., 2000. Vascular Dementia Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health and Aging, www. Strokeaha.org.
National Colaborating Centre for Mental Heatlh, 2007. Dementia, The British Psychological Society and Gaskell, pp. 134-143.
3. Sanusi, J., Lamsudin, R., Asmedi, A., 2003. Merokok Sebagai Faktor Risiko Demensia Pada Orang Tua Umur 55-70 Tahun di Kecamatan Mlati Kab. Sleman Jogjakarta, Makalah Penelitian dalam Tesis, Bagian/ SMF I.P. Saraf FK-UGM/ RS.Dr. Sardjito, Yogyakarta.
4. Soetedjo, 2006. Diagnosis gangguan kognitif dan MCI pada usia lanjut, dalam: Hexanto, M., & Trianggoro, B.,(penyunting), Update Management of Neurological Disorders in Elderly, Pertemuan Imiah Tahunan UNDIP-UGM-UNS XXI.
Klasifikasi Gangguan Kognitif
Gangguan kognitif meliputi seluruh keadaan prodormal demensia dan demensia. Gangguan kognitif ringan atau mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu keadaan prodormal demensia yang dapat bersifat menetap (stable) maupun reversibel. Kriteria MCI yaitu terdapat keluhan gangguan memori secara subjektif, gangguan tersebut terbukti secara tes memori (misalnya dengan penilaian MMSE), penampilan kognitif secara global normal, aktifitas hidup sehari-hari masih normal dan belum termasuk kriteria demensia (Soetedjo, 2006).
Klasifikasi demensia menurut PPDGJ-III (1993) / ICD-X (1992) membagi demensia menjadi: (1)F00 Demensia pada penyakit Alzheimer, (2)F01 Demensia vaskuler, (3)F02 Demensia pada penyakit lain yang diketahui, (4)F03 Demensia yang tidak tergolongkan .
Faktor Risiko Gangguan Kognitif
Faktor-faktor risiko gangguan kognitif secara umum dan demensia alzeimer meliputi: (1) yang tidak dapat dikendalikan yaitu usia tua, genetik, jenis kelamin perempuan, gangguan intelektual; (2) yang dapat dikendalikan yaitu hipertensi, diabetes melitus, hiperkholesterol, obesitas, depresi, konsumsi alkohol berlebih; dan (3) faktor risiko lainnya yaitu trauma kepala, infeksi dan tumor intrakranial (National Colaborating Centre for Mental Heatlh, 2007).
Beberapa faktor risiko demensia vaskuler overlap dengan faktor risiko demensia alzeimer. Faktor-faktor risiko tersebut dibagi menjadi 4 golongan yaitu (1)faktor demografi yang meliputi umur tua, ras/etnis (Asia), jenis kelamin (laki-laki), pendidikan rendah dan daerah rural, (2) faktor atherogenik meliputi hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, (3) faktor non atherogenik meliputi genetik, gangguan perdarahan, komsumsi tinggi alkohol, tumor serebral, trauma kepala, infeksi intraserebral dan (4)faktor yang berhubungan stroke meliputi pengurangan volume jaringan otak, lokasi dan jumlah infark (Hebert et al., 2000; Sanusi, 2003).
Referensi :
1. Consatantinides, 2006. Teori proses menua, dalam: R. Boedhi-Darmojo (Penyunting), Geriatri, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Hebert, R., Lindsay, J., Verreault, R., Rockwood, K., Hill, G., Dubois, M. F., 2000. Vascular Dementia Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health and Aging, www. Strokeaha.org.
National Colaborating Centre for Mental Heatlh, 2007. Dementia, The British Psychological Society and Gaskell, pp. 134-143.
3. Sanusi, J., Lamsudin, R., Asmedi, A., 2003. Merokok Sebagai Faktor Risiko Demensia Pada Orang Tua Umur 55-70 Tahun di Kecamatan Mlati Kab. Sleman Jogjakarta, Makalah Penelitian dalam Tesis, Bagian/ SMF I.P. Saraf FK-UGM/ RS.Dr. Sardjito, Yogyakarta.
4. Soetedjo, 2006. Diagnosis gangguan kognitif dan MCI pada usia lanjut, dalam: Hexanto, M., & Trianggoro, B.,(penyunting), Update Management of Neurological Disorders in Elderly, Pertemuan Imiah Tahunan UNDIP-UGM-UNS XXI.
Diagnosis Gangguan Kognitif
Diagnosis Gangguan Kognitif - Pemeriksaan neuropsikologi masih merupakan kunci utama untuk menentukan adanya defisit kognitif. Penilaian fungsi kognitif meliputi lima bagian pokok yaitu atensi, bahasa, memori, visual ruang dan fungsi eksekutif. Atensi adalah kemampuan untuk memfokuskan (memusatkan) dan mempertahankan perhatian pada suatu masalah. Atensi memungkinkan seseorang untuk menyeleksi aliran stimulus eksogen dan endogen yang mengaliri otak yang dianggap perlu dari hal-hal yang perlu diabaikan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan observasi apakah perhatian pasien mudah terpengaruh oleh benda di sekitarnya, salah satu cara pemeriksaannya adalah dengan menyuruh pasien menghitung mundur mulai dari angka 20 (D’Esposito, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Bahasa dapat dinilai dari kelancarannya, bicara spontan, komprehensi, repetisi dan penamaan. Bicara spontan dapat dinilai pada waktu wawancara bagaimana kelancaran bicaranya, berputar-putar atau kesulitan mencari kata-kata. Komprehensi dapat dinilai dengan menyuruh pasien melakukan perintah-perintah atau menjawab pertanyaan. Gangguan komprehensi menunjukkan adanya disfungsi lobus temporalis posterior atau korteks lobus parietotemporal (D’Esposito, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Pada pemeriksaan visual ruang, pasien disuruh menggambar obyek atau menyalin gambar geometris. Adanya gangguan visual ruang menunjukkan lesi vikal otak di hemisfer posterior. Memori adalah kemampuan untuk mempelajari informasi, mempertahankan, menyimpan dan memanggil kembali suatu informasi. Pemeriksaan fungsi memori dapat dilakukan dengan menilai orientasi tempat dan waktu, atau menilai kemampuan recall. Gangguan fungsi semantik adalah jika pasien tidak bisa menjawab fakta-fakta secara umum, misalnya dalam satu minggu ada berapa hari.
Adanya gangguan memori verbal berarti kerusakan pada hemisfer kiri, sedangkan gangguan memori visual menunjukkan adanya kerusakan pada hemisfer kanan. Gangguan memori recall dan rekognisi berhubungan dengan atrofi lobus temporalis mesial dan talamus (Stout, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Fungsi eksekutif terdiri dari pemecahan masalah, pemikiran, abstrak, kalkulasi, dan mengamdil keputusan. Pemeriksaan fungsi eksekutif dapat dilakukan dengan cara pasien disuruh membedakan hal-hal yang mirip misalnya mobil dengan kereta, menginterpretasikan peribahasa, atau menjawab pertanyaan (Sturb, 1997 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi bertujuan untuk mengkristalkan pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu atau dua pertanyaan. Salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer adalah tes Mini Mental State Examination (MMSE) yang diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon terhadap pengobatan (Turana, 2004).
MMSE sangat reliabel untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana untuk penapisan adanya gangguan fungsi kognitif. MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori jangka pendek, dan kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik (Folstein, 1993 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Nilai MMSE dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor sosiodemografik, behavior dan lingkungan. MMSE menilai fungsi-fungsi kognitif secar kuantitatif dengan skor maksimal adalah 30. Berdasarkan skor atau nilai tersebut, status kognitif pasien dapat digolongkan menjadi 3 yaitu status kognitif normal (nilai 24-30), probable gangguan kognitif (nilai 17-23) dan definite gangguan kognitif (nilai 0-16). Pada penelitian ini, gangguan kognitif ditegakkan bila didapatkan nilai MMSE 0-23, yaitu meliputi kriteria probable dan definite gangguan kognitif (Dikot & Ong, 2007).
Yani dkk., (2005) menguraikan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan untuk menilai reliabilitas MMSE, antara lain adalah penelitian oleh Fillenbaum et al., (1990) dengan nilai Kappa = 0,89., Tatemichi et al., (1994) dengan nilai Kappa = 0,96., dan Poungvarrin et al., (1994) dengan nilai Kappa = 0,94. Pada penelitian kesepakatan penilaian MMSE oleh Setyopranoto dan Lamsudin (1999), didapatkan nilai Kappa = 0,98 dengan tingkat kemaknaan yang tinggi yaitu p<0,0001.
Referensi :
1. Dikot, Y., & Ong, PA., 2007. Diagnosa Dini dan Penatalaksanaan Demensia di Pelayanan Medis Primer. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) Cab. Jawa Barat & Asna Dementia Standing Commiitee.
2. Setyopranoto, I., & Lamsudin, R., 1999. Kesepakatan penilaian Mini Mental State Examination (MMSE) pada penderita stroke iskemik akut di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Berkala Neuro Sains vol.1, 1, 73-76.
3. Setyopranoto, I., Lamsudin, R., Dahlan, P., 2000. Peranan stroke iskemik akut terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP. Dr. Sardjito, Berkala Neurosains, vol. 2, 1, 227-234.
4. Turana, Y., Mayza, A., Luwempouw S.F., 2004. Pemeriksaan Status Mini Mental pada usia lanjut di Jakarta. Medika, vol. 30, 9, 563-568.
Bahasa dapat dinilai dari kelancarannya, bicara spontan, komprehensi, repetisi dan penamaan. Bicara spontan dapat dinilai pada waktu wawancara bagaimana kelancaran bicaranya, berputar-putar atau kesulitan mencari kata-kata. Komprehensi dapat dinilai dengan menyuruh pasien melakukan perintah-perintah atau menjawab pertanyaan. Gangguan komprehensi menunjukkan adanya disfungsi lobus temporalis posterior atau korteks lobus parietotemporal (D’Esposito, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Pada pemeriksaan visual ruang, pasien disuruh menggambar obyek atau menyalin gambar geometris. Adanya gangguan visual ruang menunjukkan lesi vikal otak di hemisfer posterior. Memori adalah kemampuan untuk mempelajari informasi, mempertahankan, menyimpan dan memanggil kembali suatu informasi. Pemeriksaan fungsi memori dapat dilakukan dengan menilai orientasi tempat dan waktu, atau menilai kemampuan recall. Gangguan fungsi semantik adalah jika pasien tidak bisa menjawab fakta-fakta secara umum, misalnya dalam satu minggu ada berapa hari.
Adanya gangguan memori verbal berarti kerusakan pada hemisfer kiri, sedangkan gangguan memori visual menunjukkan adanya kerusakan pada hemisfer kanan. Gangguan memori recall dan rekognisi berhubungan dengan atrofi lobus temporalis mesial dan talamus (Stout, 1999 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Fungsi eksekutif terdiri dari pemecahan masalah, pemikiran, abstrak, kalkulasi, dan mengamdil keputusan. Pemeriksaan fungsi eksekutif dapat dilakukan dengan cara pasien disuruh membedakan hal-hal yang mirip misalnya mobil dengan kereta, menginterpretasikan peribahasa, atau menjawab pertanyaan (Sturb, 1997 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi bertujuan untuk mengkristalkan pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu atau dua pertanyaan. Salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer adalah tes Mini Mental State Examination (MMSE) yang diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon terhadap pengobatan (Turana, 2004).
MMSE sangat reliabel untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana untuk penapisan adanya gangguan fungsi kognitif. MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori jangka pendek, dan kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik (Folstein, 1993 cit Setyopranoto dkk., 2000).
Nilai MMSE dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor sosiodemografik, behavior dan lingkungan. MMSE menilai fungsi-fungsi kognitif secar kuantitatif dengan skor maksimal adalah 30. Berdasarkan skor atau nilai tersebut, status kognitif pasien dapat digolongkan menjadi 3 yaitu status kognitif normal (nilai 24-30), probable gangguan kognitif (nilai 17-23) dan definite gangguan kognitif (nilai 0-16). Pada penelitian ini, gangguan kognitif ditegakkan bila didapatkan nilai MMSE 0-23, yaitu meliputi kriteria probable dan definite gangguan kognitif (Dikot & Ong, 2007).
Yani dkk., (2005) menguraikan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan untuk menilai reliabilitas MMSE, antara lain adalah penelitian oleh Fillenbaum et al., (1990) dengan nilai Kappa = 0,89., Tatemichi et al., (1994) dengan nilai Kappa = 0,96., dan Poungvarrin et al., (1994) dengan nilai Kappa = 0,94. Pada penelitian kesepakatan penilaian MMSE oleh Setyopranoto dan Lamsudin (1999), didapatkan nilai Kappa = 0,98 dengan tingkat kemaknaan yang tinggi yaitu p<0,0001.
Referensi :
1. Dikot, Y., & Ong, PA., 2007. Diagnosa Dini dan Penatalaksanaan Demensia di Pelayanan Medis Primer. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) Cab. Jawa Barat & Asna Dementia Standing Commiitee.
2. Setyopranoto, I., & Lamsudin, R., 1999. Kesepakatan penilaian Mini Mental State Examination (MMSE) pada penderita stroke iskemik akut di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Berkala Neuro Sains vol.1, 1, 73-76.
3. Setyopranoto, I., Lamsudin, R., Dahlan, P., 2000. Peranan stroke iskemik akut terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP. Dr. Sardjito, Berkala Neurosains, vol. 2, 1, 227-234.
4. Turana, Y., Mayza, A., Luwempouw S.F., 2004. Pemeriksaan Status Mini Mental pada usia lanjut di Jakarta. Medika, vol. 30, 9, 563-568.
Patofisiologi Gangguan Kognitif
Patofisiologi Gangguan Kognitif - Mekanisme terjadinya gangguan kognitif atau demensia belum jelas sepenuhnya. Beberapa hipotesis tentang patogenesis demensia yang dikemukakan para ahli antara lain adalah (1) hipotesis genetik, (2) hipotesis toksis dan infeksi, (3) hipotesis vaskuler dan metabolik, serta (4) hipotesis neurotransmiter yaitu hipotesis kholinergik dan involusi sistem neurotransmiter lain.
Beberapa faktor yang diperkirakan sebagai pernyebab gangguan kognitif global adalah (1) gangguan neurotransmiter, (2) gangguan cerebral blood flow, (3) gangguan metabolisme neuron, (4) patologi neuron dan (5) gangguan homeostasis ion kalsium (Ca2+). Namun mekanisme mana yang paling dominan masih dalam perdebatan para ahli (Diaz, 1991)
Pada proses penuaan otak, terjadi penurunan jumlah neuron secara bertahap yang meliputi area girus temporal superior (merupakan area yang paling cepat kehilangan neuron), girus presentralis dan area striata. Secara patologis penurunan jumlah neuron kolinergik akan menyebabkan berkurangnya neurotransmiter asetilklolin sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan perilaku (Kusumoputro, 2003 cit Soetedjo, 2006).
Tatemichi et al., (1994) mengajukan pendapat bahwa pada demensia dimana terjadi defisit kognitif multipleks dan global, terjadi gangguan aktivitas neurotransmiter terutama sistem kolinergik, noradrenergik dan serotonergik baik di substansia alba maupun di substansia nigra. Lesi-lesi serebral terutama yang melibatkan regio spesifik untuk fungsi-fungsi luhur (higher cerebral function) berperan dalam munculnya gangguan kognitif atau demensia. Daerah-daerah tersebut meliputi: (1) area posterior serebrum, (2) area vaskularisasi arteri serebri posterior termasuk talamus dan lobus temporalis inferiomesial dan (3) area yang mendapat vaskularisasi dari arteri karotis interna bagian distal (distal field territory from carotis) termasuk regio frontalis superior dan parietalis.
Pandangan umum yang paling sering diketengahkan sebagai patofisiologi terjadinya gangguan kognitif adalah gangguan neurotransmiter. Dalam keadaan tersebut, dapat terjadi suatu kondisi tertentu pada aktivitas sistem kolinergik, noradrenergik, serotonergik dan dopaminergik di celah sinaptik antar neuron sebagai akibat proses patologik pada sel-sel otak sehingga terjadi gangguan kognitif (Wibowo, 1995).
Referensi :
1. Diaz, M.G., 1991. The Essential Brain, pp.,188-193, Merck, Madrio.
2. Soetedjo, 2006. Diagnosis gangguan kognitif dan MCI pada usia lanjut, dalam: Hexanto, M., & Trianggoro, B.,(penyunting), Update Management of Neurological Disorders in Elderly, Pertemuan Imiah Tahunan UNDIP-UGM-UNS XXI.
3. Wibowo, S., 1995. Neurotransmitter pada demensia, dalam: S. Wibowo & S. Sutarni (penyunting), Demensia Aspek Neurobiologi, Epidemiologi & Tatalaksana,Bagian/SMF I.P.Saraf FK-UGM/RS.Dr.Sardjito, Yogyakarta.
Beberapa faktor yang diperkirakan sebagai pernyebab gangguan kognitif global adalah (1) gangguan neurotransmiter, (2) gangguan cerebral blood flow, (3) gangguan metabolisme neuron, (4) patologi neuron dan (5) gangguan homeostasis ion kalsium (Ca2+). Namun mekanisme mana yang paling dominan masih dalam perdebatan para ahli (Diaz, 1991)
Pada proses penuaan otak, terjadi penurunan jumlah neuron secara bertahap yang meliputi area girus temporal superior (merupakan area yang paling cepat kehilangan neuron), girus presentralis dan area striata. Secara patologis penurunan jumlah neuron kolinergik akan menyebabkan berkurangnya neurotransmiter asetilklolin sehingga menimbulkan gangguan kognitif dan perilaku (Kusumoputro, 2003 cit Soetedjo, 2006).
Tatemichi et al., (1994) mengajukan pendapat bahwa pada demensia dimana terjadi defisit kognitif multipleks dan global, terjadi gangguan aktivitas neurotransmiter terutama sistem kolinergik, noradrenergik dan serotonergik baik di substansia alba maupun di substansia nigra. Lesi-lesi serebral terutama yang melibatkan regio spesifik untuk fungsi-fungsi luhur (higher cerebral function) berperan dalam munculnya gangguan kognitif atau demensia. Daerah-daerah tersebut meliputi: (1) area posterior serebrum, (2) area vaskularisasi arteri serebri posterior termasuk talamus dan lobus temporalis inferiomesial dan (3) area yang mendapat vaskularisasi dari arteri karotis interna bagian distal (distal field territory from carotis) termasuk regio frontalis superior dan parietalis.
Pandangan umum yang paling sering diketengahkan sebagai patofisiologi terjadinya gangguan kognitif adalah gangguan neurotransmiter. Dalam keadaan tersebut, dapat terjadi suatu kondisi tertentu pada aktivitas sistem kolinergik, noradrenergik, serotonergik dan dopaminergik di celah sinaptik antar neuron sebagai akibat proses patologik pada sel-sel otak sehingga terjadi gangguan kognitif (Wibowo, 1995).
Referensi :
1. Diaz, M.G., 1991. The Essential Brain, pp.,188-193, Merck, Madrio.
2. Soetedjo, 2006. Diagnosis gangguan kognitif dan MCI pada usia lanjut, dalam: Hexanto, M., & Trianggoro, B.,(penyunting), Update Management of Neurological Disorders in Elderly, Pertemuan Imiah Tahunan UNDIP-UGM-UNS XXI.
3. Wibowo, S., 1995. Neurotransmitter pada demensia, dalam: S. Wibowo & S. Sutarni (penyunting), Demensia Aspek Neurobiologi, Epidemiologi & Tatalaksana,Bagian/SMF I.P.Saraf FK-UGM/RS.Dr.Sardjito, Yogyakarta.
Gangguan Kognitif Pada Lansia
Gangguan Kognitif Pada Lansia - Proses menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, yang terjadi secara perlahan-lahan. sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constatinides, 2006). Proses tersebut menyebabkan manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi serta mengalami distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai ”penyakit degeneratif”. Menurut UU nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut, batas umur seseorang dikatakan usia lanjut adalah ≥60 tahun (Nugroho, 1995).
Fungsi kognitif adalah kemampuan mental yang terdiri dari atensi, kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan membuat konsep dan intelegensi (Kaplan, 1997; American Psychology Assosiation, 2007). Kemampuan kognitif berubah secara bermakna bersamaan dengan lajunya proses penuaan, tetapi perubahan tersebut tidak seragam. Sekitar 50% dari seluruh populasi lansia menunjukkan penurunan kognitif sedangkan sisanya tetap memiliki kemampuan kognitif sama seperti usia muda. Penurunan kognitif tidak hanya terjadi pada individu yang mengalami penyakit yang berpengaruh terhadap proses penurunan kognitif tersebut, namun juga terjadi pada individu lansia yang sehat. Pada beberapa individu, proses penurunan fungsi kognitif tersebut dapat berlanjut sedemikian hingga terjadi gangguan kognitif atau demensia (Pramanta dkk., 2002).
Demensia merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang meliputi penurunan daya ingat atau memori, disertai penurunan kemampuan paling sedikit dua dari domain intelektual berikut yaitu orientasi, atensi, ketrampilan verbal, kemampuan visuospasial, kalkulasi, fungsi eksekutif, kontrol motorik, praksis, abstraksi dan judgement. Berdasar kriteria internasional untuk sindrom demensia, keseluruhan dari gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan fungsi independen dalam kehidupan sehari-hari (WHO, 1991 cit de Leeuw and van. Gijn, 2003).
Referensi :
1. Consatantinides, 2006. Teori proses menua, dalam: R. Boedhi-Darmojo (Penyunting), Geriatri, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Nugroho, 1995. Perawatan Usia Lanjut, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. WHO., 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic, Geneva.
Fungsi kognitif adalah kemampuan mental yang terdiri dari atensi, kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan membuat konsep dan intelegensi (Kaplan, 1997; American Psychology Assosiation, 2007). Kemampuan kognitif berubah secara bermakna bersamaan dengan lajunya proses penuaan, tetapi perubahan tersebut tidak seragam. Sekitar 50% dari seluruh populasi lansia menunjukkan penurunan kognitif sedangkan sisanya tetap memiliki kemampuan kognitif sama seperti usia muda. Penurunan kognitif tidak hanya terjadi pada individu yang mengalami penyakit yang berpengaruh terhadap proses penurunan kognitif tersebut, namun juga terjadi pada individu lansia yang sehat. Pada beberapa individu, proses penurunan fungsi kognitif tersebut dapat berlanjut sedemikian hingga terjadi gangguan kognitif atau demensia (Pramanta dkk., 2002).
Demensia merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang meliputi penurunan daya ingat atau memori, disertai penurunan kemampuan paling sedikit dua dari domain intelektual berikut yaitu orientasi, atensi, ketrampilan verbal, kemampuan visuospasial, kalkulasi, fungsi eksekutif, kontrol motorik, praksis, abstraksi dan judgement. Berdasar kriteria internasional untuk sindrom demensia, keseluruhan dari gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan fungsi independen dalam kehidupan sehari-hari (WHO, 1991 cit de Leeuw and van. Gijn, 2003).
Referensi :
1. Consatantinides, 2006. Teori proses menua, dalam: R. Boedhi-Darmojo (Penyunting), Geriatri, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Nugroho, 1995. Perawatan Usia Lanjut, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. WHO., 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic, Geneva.
Subscribe to:
Posts (Atom)